Sajak lara putra dewa menggambarkan bagaimana keji dan binalnya
sebuah konflik kepentingan. Saat dimana masa keemasan sudah dipilih
untuk ditanggalkan yang tersisa hanyalah sebuah kata bermakna
singkirkan.!!! Merintih hanya semakin menambah riak-riak tawa sinis
dalam dari sudut sempit. Tidak pernah sedikitpun mencoba mengklaim bahwa
semua yang ditinggalkan adalah warisan. Biarkan sang waktu yang
menunjukkan kedikdayaanya mengungkap setiap detail kebenaran.
Berjalan tertatih dan sendiri, sudah pasti akan segera dijalani
mengingat derajat tak lagi sama. Tapi renungkan kembali, tertatih dengan
barang bawaan seperti apa. Menyusuri terjal dan curamnya pendewasaan
dalam studi kebijaksanaan menjadi bukti kongkrit dari sebuah sertifikat
berlebelkan “HANYA DICETAK SERATUS TAHUN SEKALI”.
Lalu apakan masih terlihat memprihatinkan dan pantas dilirik sebelah
mata? Biarkan otak beku menuntun pecundang diseberang menemukan jawaban
dari paradigma narasi sang ilahi.
Membuka lembaran
baru sang kuda kayu dengan secercah harapan bahwa time’s up, enough.
Tapi ternyata semua hanyalah oase dalam padang safana. Bualan demi
bualan senantiasa terlontar merayakn betapa tololnya ego menguasai
setiap sendi kehidupan. Nafsu tak lupa dilibatkan dalam kasus yang
menyeret keangkuhan menjadi bulan-bulanan tuntutan tanpa dasar dan
maksud menghancurkan. Bulir-bulir keringat bercampur dengan sedikit
peluh menjadikan sebagai cambuk pelesat mesin piston bertenaga lebih
dari sekedar mesin ganda.
Rupa-rupanya sang waktu sedang
menunjukkan kepiawaianya dalam menempatkan apa yang sedang dibutuhkan.
Menempatkan kini masa dari pengecut mana lagi yang akan terdoktrin oleh
kepalsuan dan menjadi budak oposisi seperti kerbau yang dicucuk
hidungnya. Menjadi budak pembajak sawah tanpa tahu apa yang sebenarnya
sedang diretas. Bisa saja menjadi korban tanpa jasad. Lebih mungkin lagi
terkirim hanya tinggal nama. Masih untung apabila pulang dalam peti
terbujur kaku, namun sangat memilukan bila menjadi korban dari
kepentingan ketamakan dari sang pencetak dolar.
Silaunya mentari sedang berganti dengan malam yang beranjak sunyi.
Bersama gemericik dentuman tetesan berkah dari langit. Dengan diiringi
orchestra dari sang pencipta membuat semua siksaan ini terasa manis
dalam detail goresanya. Bekasnya memang tak terlalu dalam, tapi
menyakitkan dan menimbulkan bekas yang sangat panjang. Biarkan sepi
bersanding dengan dahsyatnya badai menerpa karang. Menjadikanya
setingkat lebih kuat dibanding dengan kotoran yang mengapung dilautan.
Sudah mulai lupa kapan pertama rasakan lara karena semua telah menjadi
santapan sehari-hari. Bahkan bagaimana rasanya sejenak menikmati
sejuknya udara pagi yang menyesakkan sudah mulai jarang dan hampir tidak
pernah tersaji dimeja makan. Hanya goresan luka, dan beberapa tumpukan
memori puncak penuh euphoria penancapan sejarah baru. Dan memang hanya
itu yang saat ini sedang menjadi bahan paling menarik untuk dijadikan
renungan dalam memulai menggoreskan pena.
Narasi
sebagai bahan pengantar ke cerita inti tak perlu lagi dilampirkan. Semua
terpempang nyata dari memar yang menghiasi sekujur tubuh. Belum lagi
dengan pilunya dasar hati yang sampai detik ini belum ada yang mampu
menyelami hingga bertemu dan bercumbu. Mengutuk kegelapan bukanlah
langkah bijaksana,tetapi menjadi lilin dan terbakar demi menerangi
kehidupan bisa jadi menjadi keputusan paling realistis untuk waktu-waktu
ini. Masih terngiang jelas betapa senyum keharuan dating bergandengan
bersama derai air mata pada detik terakhir pemindahan tahta. Terakam
amat sangat jelas dengan kualitas gambar setara dengan piringan hitam
yang menjadi box office dari setiap jamannya.
Bukan
hasil dari mengiba apabila terlahir sebagai pemenang, namun menjadi
pecundang bisa saja menjadi pilihan takdir yang diambil dari sudut
pandang kebodohan. Mengkerdilkan kedewasaan menjadi hal yang jamak
terjadi dalam memotret setiap adegan dalam rekayasa. Menjadikanya seolah
terlihat nyata tanpa melalui proses filterisasi masuk nominasi pembawa
piala bergengsi. Apakah emas itu sudah tidak berharga sehingga hanya
dilempar untuk dijauhkan agar radiasinya bisa diminimalisir bahkan
apabila ada cara untuk menguburnya hidup-hidup itu bisa menjadi pilihan
halal untuk melanggengkan kekuasaan.
Terompet dari
sang empunya hidup belum diijinkan ditiup itu artinya masih ada celah
untuk kembali menapaki terjal serta curamnya medan dengan hanya berbekal
diri sendiri. Berjalan tanpa iringan itu sudah bukan menjadi sesuatu
yang luar biasa dalam sampah daur ulang ini. Hanya ada satu yang abadi
dalam dawai melodi kehidupan yaitu kepentingan. Omong kosong saat
terdengar bahwa akan terlahir kawan dan lawan yang abadi dalam setiap
putaran rodanya. Lahir dan tumbuh besar dalam pengasingan menjadi modal
berharga dalam mengarungi kejamnya gelombang masa depan. Pilihan hanya
ada dua yaitu berhenti dan mati atau tetap berlari meskipun terseok
menuju puncak keberhasilan. Dan inilah yang menjadikan sang waktu begitu
agung, karena dia adalah satu-satunya yang dicetak sang pemberi hidup
yang tidak berpasangan.
Bukan sebuah jalan untuk
mengungkit setiap kegemilangan yang pernah tertahklukkan, karena itu
akan menjadi keputusan yang sangat pintar untuk eksistensi diri. Pintar
dalam menunjukkan kebodohah maksud dari statement tanpa sinyalement
untuk menjatuhkan babi yang sedang berkuasa.
Tak
perlu melotot dan berteriak untuk menunjuukan kekesalan. Dari raut muka
dan penyimpulan saat diskusi setelah dicaci maki saja sudah bisa
disimpulkan bahwa kewaspadaan adalah harga mati saat berjumpa.
Entah dosa apa yang dulu terlanjur dilakukan sehingga memuluskan setiap
tonjolan-tonjolan luka dan menjadikan rasa kewaspadaan harus dipasang
sebagai kuda-kuda. Bunda yang salah mengandung atau bapak yang keliru
menaruh burung itu saja belum cukup untuk mengorek apa yang sebenarnya
menjadi alibi dari pengasingan yang terjadi.
Semua ada masanya, dan mungkin sekarang menjadi masa dimana babi bermainset dolar sedang nyaman duduk disingga sana.