Kesialan
terindah, kebodohan ternikmat serta dosa paling memikat, sedikit definisi
terhadap semua buaian semu dalam hempasan semilir angin senja. Katup kehidupan
kembali menunjukkan kepiawaianya menari dan menterjemahkan segala keagungan
dari sang pembuat hidup. Setiap episodenya membawa goresan manis mencabik
dengan indahnya. Djavu memang, namun semua terlalu indah untuk dilewatkan
begitu saja. Hamparan scenario manis yang telah selesai dimainkan tidak
seyogyanya untuk dikubur begitu saja.
Semu
dan mungkin hanya sekedar hanyalan untuk dapat beriringan dalam sebuah
komitment janji untuk saling percaya, menjaga dan melengkapi. Sadar atau tidak
itu semua mencabik direlung sanubari. Sejak awal memang semua sudah terurai
tidak pada tempatnya. Dimulai dari sebuah miss persepsi dari segelintir orang
dan akhirnya menjadi konsumsi khalayak ramai merubah mainset. Penyangkalan yang
dulu santer diteriakkan kini hanya tinggal isapan jempol belaka dikala akhirnya
tersadar bahwa karma itu telah hadir, dengan berat pengakuan dari kedua belah
pihak sudah terlanjur terlantunkan. Ditemani udara segar dan deburan ombak
membuat hari libur mendung saat itu berubah dengan senyum sumringah penuh
kepuasan.
Hari
laknat itu memang tak seharusnya terjadi, mengingat sang bidadari telah
menemukan tambatan hati yang setia mendampingi meskipun tidak selalu ada
disisi. Sempat terbersit apa semua hanya carauntuk mengisi kekosongan dan
akhirnya hanya makan hati saat semua telah kembali. Benar atau salah itu hanya
tuhan dan rasionalitasnya yang berbicara. Menyadari bahwa semua berat dan bisa
dibilang tidak mungkin untuk melangkah lebih jauh akhirnya dengan lantang tapi
berat langkah kaki harus segera berpindah haluan. Berbalik dengan senyum pedih
hanya akan semakin mengoyak perasaan, bertahan dengan kegigihan juga dirasa
percuma, mengingat siapa dan diposisi mana.
Tak
jarang terdengar siulan burung berkicau meyakinkan bahwa ini adalah takdir dan
garis dari sang pemberi hidup. Semua setinganya terasa pas dan tidak bisa
disangkal lagi itulah yang disebut takdir. Dengan segala kebodohan rasional
yang dimiliki maka bantahan, teriakan dan pemberontakan serta gejolak jiwa
mencoba untuk merubahnya. Tertikam dalam senyum pucat pasi, dan mungkin
tersungkur dan kembali kelembah jahanam dalam takdir kehidupan.
Ambiguitas
jawabanpun terkadang menggoda bahwa itu adalah pancingan serta tarikan
meyakinkan bahwa ada alasan kuat untuk tetap bertahan. Terlihat ada setitik
ketulusan dan keyakinan dari pihak seberang menggambarkan bahwa tarik ulur
memang sedang terjadi. Sekuat tenaga meronta untuk merealisasiakn sebuah
kalimat yang berbunyi “move on” itu adalah target yang saat ini sedang menjadi
fokus pemusatan latian. Sebuah pernyataan bahwa semua memang tidak ada ikatan
dan bebas untuk berkeliaran kesetiap sudut kehidupan menjadi sebuah tanda merah
agar jangan terlalu berharap.
Mungkin
keledai sedang terperosok kedalam jurang pilu, meratapi dan menyesali kenapa
harus takdir seperih ini yang terlewati. Menjadi bagian dari sebuah histori
pencapaian. Semua hanya akan semakin mengiris perih dikala mengingat flashback kesetiap
rentetan kejadian. Jengkal demi cengkal dan bulir-bulit itu tersusun rapi
menjadi puing penopang sebuah bangunan indah dengan cat berwarna merah darah
sebagai pertanda keindahan dengan kepiluan.
Silahkan
tersenyum sinis atau menangis ketika menyimak rangakain kata bodoh ini. Teratawa
sadispun sah-sah saja karena menang sang sejarah sedang menunjukkan kebodohanya
dan kelemahanya tahkluk dengan sang hawa. Hawa bukan menjadi milik sang adam,
tapi kepunyaan arjuna.
Adam
memang terkadang kejam dan bisa saja memberikan tekanan pada hawa seperti saat
pada akhirnya hawa mengakui semuanya. Namun dalam penggalan cerita ini adam
memberikan pressure terhadap hawa untuk membuat keputusan paling lambat
satu bulan kedepan. Adam atau arjuna, meskipun semua juga sudah paham dan
hasilnyapun bisa ditebak dengan rasionalitas bahwa pilian tidak akan jauh dari
arjuna. Adam hanyalah sepenggal bumbu penyedap tak berguna yang kebetulan
hinggap dan merusak semuanya. Turut campur dalam tatanan yang tak seharusnya. Menerobos
kedalam hidup bahagia dan menjadi duri adalah ketololan fatal yang dibuat sang
adam.
Dan
kalaupun dalam tiga puluh hari kedepan sang hawa tidak memberikan keputusan
atau bahkan seperti yang diduga yaitu arjuna adalah pemilik mutlaknya maka adam
harus menepati janjinya untuk minimal dapat menggerakan satu langakah kaki
berbelok arah mencari pemandangan dan fokus baru selambat-lambatnya seratus
delapanpuluh hari kedepan. Akan tetapi dalam hati kecil sebenarnya dengan
jumawa banyak bukti dan banyak sumber yang menerang tegaskan bahwa rasa yang
terbangun antara adam dan hawa dibuat dengan sebuah pondasi yang disebut
proses. Dua periode bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal dan pada
akhirnya meyakinkan keduanya bahwa mereka memiliki rasa yang sama. Dan tentunya
semua tahu bahwa proses itu lebih menentukan kualitas.
Tapi
entahlah, semua keputusan ada ditanganmu. Datang untuk memelukku dengan
senyuman iklas dan penuh kasih sayang atau datang untuk menikam, mencabik dan
mengoyak sanubari untuk akhirnya berlalu dan pergi. Apapun keputusanmu
percayalah bahwa engkau menjadi goresan menggunakan warna emas dalam kanvas
kehidupanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar