Ada sebuah masa dimana tiba-tiba terjadi sedikit kilatan
menyilaukan mata menusuk penggelihatan membuyarkan fokus tanpa tujuan. Tidak
lagi menjadi hal lumrah yang menjemukan ketika detik demi detik itu terjadi.
Menjadi sebuah barang langka ditengan keremangan malam muncul kilatan yang
begitu saja muncul tanpa sedikitpun mengucapkan salam selamat datang. Tak ayal
menyentak seluruh kalbu dalam belenggu pilu tak kurang dari enam puluh bulan
penantian. Entah siapa yang akhirnya mampu membisikan teriakan kecil pemberontakan
nurani terhadap sebuah prinsip idealisme romansa selama seragam putih biru
terasa semakin kental dari masa ke masa.
          Sepertinya keyakinan itu mulai goyah atau mungkin logika
mulai berjalan dijalur realistis atau bisa saja ini adalah cubitan dari tuhan
untuk sekedar membuka mata bahwa ada ciptaan lain yang ditujukan untuk menemani
langkah menghabiskan sisa usia. Dimana awal mulanya itu adalah sebuah
pertanyaan yang akan selalu saja menjadi sebuah tanda tanya saat belum ada
konfrontasi dari beberapa unsur terkait. Tetapi semua itu rasa-rasanya cepat
atau lambat akan segera memudar seiring melemahnya keyakinan untuk kembali pada
prinsip keyakinan yang dimaksud.
          Ada jaminan bahwa semua berputar tidak atas dasar
melelehnya sebuah gunung es yang membatu sekeras kepala si pelaku. Layaknya
aliran listrik yang mengaliri setiap sendi kehidupan maka tidak jarang akan
ditemui naik turunya tegangan. Dalam kasus ini tidak menjadi tabu apabila
berbicara dan disandingkan dengan sedikit kecapan fatamorgana. Tidak terhitung
lagi berapa kalimat bijak yang selalu dihembuskan untuk menyejukan otak panas
namun membeku. Berbagai macam tekanan bukan menghancurkan tapi justru ini
menjadi semacam training untuk semakin membekukan keyakinan.
          Sejumput romansa terjadi ditanah anarki, mengisahkan
tentang sucinya asmara diantara dua insane yang menjadi sejarah dalam
perjalanan kemerdekaan republik ini. Kisah itu seharusnya memperkuat ketika
didilat dari aspek alur cerita, tetapi dalam kasus special yang tertangani
justru terjadi sebaliknya. Melemah dan sepertinya akan segera pudar. Ada
kalanya terlintas bahwa apakah kilatan-kilatan ini hanya terjadi untuk sedikit
memberikan tanjakan lalu kemudian turunan yang membuat perjalanan ini tidak
membosankan. Terdengar suara akar rumput berteriak membisikan makna.
          Langkah realistis sudah diputuskan, keyakinan mungkin
terlihat tergoyahkan. Tercermin dari berubahnya fokus tujuan. Tusukan demi
tusukan menikam dan menghujam tepat pada inti keyakinan tatkala mendengar
penuturan dari sumber terpercaya bahwa ada sebuah factor X yang muncul dari
dari dalam dan mengaharuskannya meninggalkan pilihan yang sudah dibuat dan
berpindah ketempat yang dianggal lebih relevan dengan status sosial. Bukan
salah dari bunda mengandung apabila akhirnya ada insane yang sedang dimabuk
asmara terdampar pada sebuah kubangan busuk ditengah terjalnya pendakian
menggapai sebuah gelar sarjana. Ada dalam system yang konon katanya demokrasi
tetapi hanya rekayasa semata membungkus rapi kediktatoran system orde baru.
Hanya kerbau bodoh yang menghuni tetapi tidak mampu mencium wanginya aroma
bangkai dari para elit pemegang kekuasaan. 
          Sempat meronta meminta untuk terjungkal dalam bukit yang
sama dan seperti yang biasa terjadi, ya semua sia-sia. Waktu adalah
ciptaan  sang khalik yang berbeda dengan
ciptaan lainnya. Diciptakan hanya berjalan searah, maju kedepan dan hanya mampu
menyisakan kenangan yang kadangkala membekas tetapi sering juga hanya sebagai
masalalu semata. Menjadi tidak lucu namun sering memancing gelak tawa. Saat
keyakinan yang dulunya gigih dipertahankan dengan ucapan lantang untuk bertahan
menerjang gelombang sendirian lalu kemudian mengharap akan terdampar bersama.
Tapi kini dengan pengakuan, dengan cubitan dan tamparan serta petunjuk melalui
adegan drama kisah nyata sepertinya semua berubah, menjelma menjadi ketidak
berdayaan menolak melemahnya kepercayaan untuk menghadang factor X yang muncul
dari dalam itu sendiri. Karena seperti yang sudah dituturkan factor X itu
berasal dari mereka yang konon katanya ditelapak kakinya tersimpan surga. 
          Dengan kenyataan itu rasa-rasanya naif sekali apabila tetap
bertahan pada prinsip keyakinan untuk membawa bahagia bersama. Entah menurut
sudut pandang yang terlihat keputusan itu terlihat menyimpang dan terkesan
pragmatis, tetapi lagi-lagi bukan konteks larangan yang menjadi factor dari
memupusnya harapan namun mari melihat dari siapa yang melontarkan perintah itu.
Surga adalah taruhanya, dan itu bukan hal sepele untuk dilalui meskipun
bersama. Selamat jalan, selamat tinggal dan semoga baktimu membawa bahagia.
Karena tuhan tidak tidur dan tuhan mencintai mereka yang berbakti dengan
mereka  yang terdapat surge ditelapak
kakinya J . 
