Sabtu, 03 Mei 2014

KILATAN AUORORA



          Ada sebuah masa dimana tiba-tiba terjadi sedikit kilatan menyilaukan mata menusuk penggelihatan membuyarkan fokus tanpa tujuan. Tidak lagi menjadi hal lumrah yang menjemukan ketika detik demi detik itu terjadi. Menjadi sebuah barang langka ditengan keremangan malam muncul kilatan yang begitu saja muncul tanpa sedikitpun mengucapkan salam selamat datang. Tak ayal menyentak seluruh kalbu dalam belenggu pilu tak kurang dari enam puluh bulan penantian. Entah siapa yang akhirnya mampu membisikan teriakan kecil pemberontakan nurani terhadap sebuah prinsip idealisme romansa selama seragam putih biru terasa semakin kental dari masa ke masa.

          Sepertinya keyakinan itu mulai goyah atau mungkin logika mulai berjalan dijalur realistis atau bisa saja ini adalah cubitan dari tuhan untuk sekedar membuka mata bahwa ada ciptaan lain yang ditujukan untuk menemani langkah menghabiskan sisa usia. Dimana awal mulanya itu adalah sebuah pertanyaan yang akan selalu saja menjadi sebuah tanda tanya saat belum ada konfrontasi dari beberapa unsur terkait. Tetapi semua itu rasa-rasanya cepat atau lambat akan segera memudar seiring melemahnya keyakinan untuk kembali pada prinsip keyakinan yang dimaksud.

          Ada jaminan bahwa semua berputar tidak atas dasar melelehnya sebuah gunung es yang membatu sekeras kepala si pelaku. Layaknya aliran listrik yang mengaliri setiap sendi kehidupan maka tidak jarang akan ditemui naik turunya tegangan. Dalam kasus ini tidak menjadi tabu apabila berbicara dan disandingkan dengan sedikit kecapan fatamorgana. Tidak terhitung lagi berapa kalimat bijak yang selalu dihembuskan untuk menyejukan otak panas namun membeku. Berbagai macam tekanan bukan menghancurkan tapi justru ini menjadi semacam training untuk semakin membekukan keyakinan.

          Sejumput romansa terjadi ditanah anarki, mengisahkan tentang sucinya asmara diantara dua insane yang menjadi sejarah dalam perjalanan kemerdekaan republik ini. Kisah itu seharusnya memperkuat ketika didilat dari aspek alur cerita, tetapi dalam kasus special yang tertangani justru terjadi sebaliknya. Melemah dan sepertinya akan segera pudar. Ada kalanya terlintas bahwa apakah kilatan-kilatan ini hanya terjadi untuk sedikit memberikan tanjakan lalu kemudian turunan yang membuat perjalanan ini tidak membosankan. Terdengar suara akar rumput berteriak membisikan makna.
          Langkah realistis sudah diputuskan, keyakinan mungkin terlihat tergoyahkan. Tercermin dari berubahnya fokus tujuan. Tusukan demi tusukan menikam dan menghujam tepat pada inti keyakinan tatkala mendengar penuturan dari sumber terpercaya bahwa ada sebuah factor X yang muncul dari dari dalam dan mengaharuskannya meninggalkan pilihan yang sudah dibuat dan berpindah ketempat yang dianggal lebih relevan dengan status sosial. Bukan salah dari bunda mengandung apabila akhirnya ada insane yang sedang dimabuk asmara terdampar pada sebuah kubangan busuk ditengah terjalnya pendakian menggapai sebuah gelar sarjana. Ada dalam system yang konon katanya demokrasi tetapi hanya rekayasa semata membungkus rapi kediktatoran system orde baru. Hanya kerbau bodoh yang menghuni tetapi tidak mampu mencium wanginya aroma bangkai dari para elit pemegang kekuasaan.
          Sempat meronta meminta untuk terjungkal dalam bukit yang sama dan seperti yang biasa terjadi, ya semua sia-sia. Waktu adalah ciptaan  sang khalik yang berbeda dengan ciptaan lainnya. Diciptakan hanya berjalan searah, maju kedepan dan hanya mampu menyisakan kenangan yang kadangkala membekas tetapi sering juga hanya sebagai masalalu semata. Menjadi tidak lucu namun sering memancing gelak tawa. Saat keyakinan yang dulunya gigih dipertahankan dengan ucapan lantang untuk bertahan menerjang gelombang sendirian lalu kemudian mengharap akan terdampar bersama. Tapi kini dengan pengakuan, dengan cubitan dan tamparan serta petunjuk melalui adegan drama kisah nyata sepertinya semua berubah, menjelma menjadi ketidak berdayaan menolak melemahnya kepercayaan untuk menghadang factor X yang muncul dari dalam itu sendiri. Karena seperti yang sudah dituturkan factor X itu berasal dari mereka yang konon katanya ditelapak kakinya tersimpan surga.
          Dengan kenyataan itu rasa-rasanya naif sekali apabila tetap bertahan pada prinsip keyakinan untuk membawa bahagia bersama. Entah menurut sudut pandang yang terlihat keputusan itu terlihat menyimpang dan terkesan pragmatis, tetapi lagi-lagi bukan konteks larangan yang menjadi factor dari memupusnya harapan namun mari melihat dari siapa yang melontarkan perintah itu. Surga adalah taruhanya, dan itu bukan hal sepele untuk dilalui meskipun bersama. Selamat jalan, selamat tinggal dan semoga baktimu membawa bahagia. Karena tuhan tidak tidur dan tuhan mencintai mereka yang berbakti dengan mereka  yang terdapat surge ditelapak kakinya J .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar