Rabu, 17 April 2013

tak sejalan


Munafik.......
          Kata itu sangat pantas menurut saya di sematkan bagi wakil-wakil kita di parlemen, dan para pemimpin bangsa ini. Antara ucapan dan perbuatan tidak pernah sejalan. Otak mereka hanya terisi dengan kekuasaa. Kekuasaan yang susah payah mereka dapatkan dengan uang mereka. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka bisa menduduki posisi itu adalah dengan cara membeli suara rakyat.
          Tapi bukan masalah “money politic” yang akan saya bahas dalam tulisan ini. saya lebih menyoroti tentang janji-janji mereka saat kampanye. Mereka semua berjanji untuk mensejahterakan rakyat, tapi apa buktinya? Mereka hanya mensejahterakan diri mereka sendiri.
          Pemerintah saat ini pun terlalu bodoh, idiot dan sangat tuli dengan penderitaan rakyat terutama petani. Katanya negara ini adalah negara agraris, itu berarti mata pencaharian sebagian besar warga negara ini adalah di bidang pertanian. Tapi, coba tengok nasib kaum tani saat ini.!! jauh dari kata sejahtera. Anda ingin tau kenapa??
Karena pemerintah ini terlalu tidak perduli dengan nasib kami, coba sekarang sejenak anda inngat.!! Ketika harga beras, sayur, buah, cabai dan hasil pertanian lainnya naik pemerintah selalu saja mengimport untuk menekan agar harganya stabil. Tapi, apakah ketika harganya anjlok pemerintah berusaha mengeksport hasil pertanian tersebut agar di dalam negri stabil????
TIDAK....
TIDAK.....
TIDAK....
Pemerintah diam saja melihat kaum petani yang sedang terpuruk oleh keadaan. Padahal jika dipikir, ketika harga hasil pertanian naik adalah saat dimana petani itu bisa merauk untung besar agar kehidupannya bisa lebih sejahtera. Ketika pemerintah berusaha menurunkan harga-harga hasil pertanian tersebut berarti pemerintah sedang berusaha menghalang-halangi kaum petani untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dan ini artinya pemerintah sedang berusaha membunuh kaum petani secara perlahan.
Saya beri gambaran kepada anda. Ketika harga beras Rp.5000 petani meraup untung pas-pasan untuk hidup sampai masa panen berikutnya. Ketika harganya merangkak naik pemerintah langsung mengimport beras. Padahal jika harganya naik Rp.500 saja, petani itu sudah merasa bersyukur. Minimal mereka bisa menabung untuk mengantisipasi jika hasil tanam berikutnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Itu baru soal beras, belum lagi soal bawang merah. Kami membeli bibitnya seharga Rp.17000 per kilo, dan ketika panen bawang merah hanya laku 3-5 ribu rupiah saja. Ketika harga 5 ribu mungkin petani masih bisa tersenyum sedikit karena minimal modal mereka kembali. Tapi ketika harga di bawah itu maka petani tetap tersenyum, tersenyum dalam kepedihan. Karna itu berarti mereka merugi. Apakah pemerintah berbuat sesuatu???
Anda tentu sudah tahu jawabanya.
Harga pupuk setiap taun melonjak naik tetapi harga hasil pertanian tidak naik setinggi itu. Belom lagi jika pengairannya tidak bagus, petani harus memakai diesel untuk mengairi tanaman mereka. Dan ini artinya petani harus mengeluarkan biaya untuk membeli bahan bakarnya. Menyedihkan memang nasib kaum petani saat ini. Hanya bisa pasrah dengan keadaan.
           Terkadang saya menagis batin melihat perjuangan orang tua saya menggarap sawah, demi bisa makan dan menyekolahkan saya dan adik saya. Mereka bekerja dari matahari terbit sampai matahari tenggelam mereka baru beranjak pulang kerumah. Setiap hari menggotong diesel untuk mengairi sawah kami agar tanaman yang menjadi harapan kami untuk bisa tetap bertahan hidup tumbuh subur.
          Yang berkeliaran di benak saya adalah dimana mereka yang dulu berjanji mensejahterakan kami? Dimana mereka yang dulu mengiba meminta untuk dipilih saat pemilihan umum??? Dimana mereka??? Mati??? Mati hati nuraninya.
Saya hanya bisa berdoa semoga nasib kaum petani bisa menjadi lebih baik lagi. Semoga jerih payah kaum tani bisa terbayar dengan harga yang sepadan dengan pengorbanan mereka. Bagaimanapun petani itu adalah pahlawan di negri ini. tanpa petani anda tidak akan bisa makan nasi, merasakan manfaat sayuran dan menikmati segarnya buah-buahan. Petani berperan besar bgi negara ini, tapi negara ini tidak pernah memperdulikan nasib petani.
BIADAP,........
Harus sampai kapan kami hanya di manfaatkan seperti ini???? sampai kapan kami harus hidup dalam kondisi pas-pasan seperti inni? Sampai kapan pemerintah menghalng-halangi kami untuk mendapatkan kesejahteraan???
Sampai kapan??sampai kapan???sampai kapan?????
Semoga kami segera di beri kemudahan untuk bisa meraih apa kesejahteraan tersebut, semoga nasib kaum petani jadi lebih baik lagi, semoga nasib petani bisa lebih mapan lagi. Dan semoga pemerintah segera di berikan hidayah agar memperhatikan nasib kami, namun jika tidak di beri hidayah juga, kami hanya berharap semoga mereka lekas menghadap sang pencipta.....
God Bless You.....
HHHHHHIIIIIIIIIIIIIDDDDDDDDDDUUUUPPP PETANI.....

ayah, ibu..maafkan kebodohan anakmu


          Kembali termenung untuk merefleksikan apa saja yang sudah terlampaui selama hampir duapuluh tahun ini. tak terasa diri ini semakin bertambah tua, bukan bertambah dewasa namun malah bertambah banyak kebodohan fundamental yang amat sangat sering ku lakukan. Terhitung sudah dua kali kebodohan memamlukan yang sempat terangkai dalam alur cerita sembilan belas menuju dua puluh. Entah mengapa lagi-lagi adegan tanpa rekayasa ini terputar kembali dan menimbulkan episode baru penentu judul selanjutnya yang entah akan sefenomenal kisah sebelumnya atau akan menurunkan rating dalam penampilanya dilayar nyata penyaji drama kehidupan.
          Seperti baru kemarin sore janji untuk beranjak kelevel yang lebih baik terucap dan terpahat rapi dalam rangkaian paragraf penterjemah sandi kegigihan seorang pendobrak. Sepertinya memang belum berada pada tahapan yang dicita-citakan, namun sudah berada di tingkatan lebih baik dari pada perjalanan sebelumnya. Inipun bila menengok kebelakang atas pencapaian seperti apa yang sudah berhasil tertorehkan dalam cuplikan memoriabilia kisah nyata dalam bingkai kenangan terpatri dalam sanubari.
          Sekian banyak pemain baru bermunculan, mencoba menawarkan berbagai keindahan dalam judul yang belum tentu ke arah mana akan terproduksi. Tak terhitung pula pemain lama yang tiba-tiba hengkang dan kemudian secara mendadak muncul kembali menyajikan adegan yang tidak terfikirkan namun tetap sejalan dengan skenario sang pembuat hidup. Mereka bisa saja bermain peran dalam kefanaan yang terpajang jelas sebagai gambaran kerasnya kehidupan, namun tanpa sadar mereka sebenarnya sedang menyajikan sebuah pelajaran setengah matang yang memerlukan pengolahan lebih lanjut demi mendapatkan cita rasa tak terlupakan yang disebut pendewasaan.
          Terhitung sebelas hari menuju babak baru dimana seharusnya kematangan multi level telah tertelan habis sebagai konsumsi amunisi menghadapi pertempuran diluar sana yang semakin membutuhkan strategi dan kelengkapan alutsista. Sebenarnya kesadaran para pemain pendukung tidak terlalu dibutuhkan dalam episode baru kali ini. garis batas menuju semua itu memang terlalu tipis sehingga berkamoflase dalam ketidak pedulian yang disengaja atau memang tidak mau tau tentang semua.
          Tersimpan sebuah harapan dari sudut gelap paling dalam tanpa dusta, tanpa permainan kata tentang penghuni yang bersemayam lebih dari setengah dekade menguasai dan menjadi penghuni tunggal dalam kebengisan penyiksaan paling berkesan tak tersentuh oleh HAM. Sekelas pengadilan militerpun tidak bisa menjamah karena memang itu bukan ranahnya. Ikatan dinas yang terbangun selama berada dibangku menengah pertama semakin membelenggu dan mencekik perjuangan sebuah penentu masa depan.
          Meskipun sesekali ada saja permasyuri yang datang dan pergi, namun keidahan bidadari dari tepian gunung tak bisa terganti. Bahkan sang pembuat skenario hidup pernah menyajikan kisah yang hampir serupa berbeda muara, namun tetap saja penghuni singga sana tak tergoyahkan dari tahta. Sedikit keyakinan untuk menyusulnya kekayangan memperjuangkan hak atas sengketa kepemilikan kebahagian bersanding sampai datang sang pencabut nyawa. Tetapi semua terasa mustahil menilik dari kode etik profesi persahabatan semasa di bangku menengah pertama dan tentunya siapa dan apa yang dipunya untuk berani mencoba memboyongnya menuju istana.
          Kembali hujan terasa segar membasuh keringat yang mengalir deras dalam pelarian estafet pengalih perhatian, semua terasa sia-sia karena ternyata hadiah untuk pencapaian luar biasa itu masih terhalangi oleh penghuni penjara sudut gelap bernama hati. Tertunduk lesu saat mencoba mengkilas balik apa yang sudah tercapai tahun ini dimana ada banyak sekali keluarga baru yang bisa dibilang berperan besar dalam pencapaian saat ini. sadar atau tidak, tetapi mereka telah menyumbangkan tenaga, fikiran dan mungkin keiklasan demi sebuah keyakinan bahwa apa yang meraka korbankan akan terbayar lunas tuntas melakoni jati diri sampai puas.
          Sebuah tantangan dalam satu atap dibawah pohon manggapun telah menanti sepanjang satu periode yang baru terjalani beberapa pekan. Beberapa pekan berat penuh intrik menarik untuk disimak dan dijadikan bekal perjalan sampai terbacakannya laporan pertanggungjawaban hingga pada akhirnya ini menjadi tahun terakhir bersama dalam satu atap dengan penghuni-penghuni hebat sekelas mereka. Mengangkat topipun rasanya tidak cukup untuk memberikan penghormatan kepada para pejuang non profit yang entah benar atau tidak sedang berkamoflase dalam keiklasan mencurahkan segala bentuk yang dipunya demi tercapainya tujuan bersama. Merasa sok dewasa, senioritas superioritas yang terekam jelas dalam raut muka dibumbui pertanyaan-pertanyaan menjatuhkan dalam pembunuhan karakter bibit-bibit unggul penerus perjuangan melawan akreditasi tanda bintang.
          Sampai kapan kebodohan dan kemalasan ini memperbudak otak brilian yang tertanam dalam pribadi kuat yang terkebiri oleh terpaan-terpaan tak masuk akal yang sebanarnya bisa saja dihindari tanpa meninggalkan tetesan-tetesan air mata. Tak berdaya dalam tanda tanya mengapa semua bisa saja mengalir dengan derasnya dihadapan kritikus-kritikus legendaris. Mungkin ini juga yang menyebabkan kebulatan tekad untuk menjadikan musim ini sebagai musim terakhir merumput berasa raksasa pendidikan karakter psikologis penerus bangsa.
          Bukan disini tempatnya, masih banyak kader-kader hebat yang pantas mengisi kekosongan dibanding pendobrak kuat nan  menyedihkan namun terselimuti kepekaan dalam linangan kebodohan menahan curahan perasaan.
          Hampir 7300 hari sejak untuk pertama kalinya sebuah mahakarya yang terlahir seratus tahun sekali dipertontontakan kepada dunia. Dilahirkan dari sebuah tindakan yang belum saatnya. Keinginan untuk bertindak melanggar norma berakibat dari tercetusnya ciptaan fenomenal diabad ini. banyak sanggahan untuk mengahncurkan karya sebelum launching, kegigihan hati dari penaggung jawab dosa bisa bertahan meskipun berat namun sembilan belas tahun telah berlalu. Produk yang pada eksperimen awalnya menuai pro dan kontra justru sekarang ini menjadi perebutan dari siapa yang berjasa dalam membesarkan dan menjadikan setolol saat ini.
          Sebuah dendam memang semakin kuat terasa menjalar dalam sendi kemunafikan yang semakin berjaya karena memang talangan dana segar sangat diharapkan untuk menyirami dahaga akan sebuah kemajuan yang mau tidak mau harus terseberangi dengan rakit ala kadarnya bermesin rupiah. Bertindak sebagai nahkoda adalah hasil ekperimen nikmat penuh dosa, berdiri digarda paling depan menantang derasnya tantangan dalam jeram penuh buaya cantik yang siap memangsa nahkoda yang lengah dalam perjalanan.
          Berterimakasih dan bersyukur kepada tuhan atas ijin yang diberikan selama hampir dua dekade ini. dua dekade, itupun jika masih direstui. Jika tidak ya mungkin memang hanya sampai disini perjuangan perompak ulung dalam mangarungi badai kehidupan. Cattan ini bukan untuk mencari simpati kalian, bukan pula untuk menampar dan mengingatkan kalian tentang apa yang sudah berhasil dicapai, bukan pula untuk mengiba belas kasian. Namun semua ini terangkai  hanya untuk sebagai bahan instropeksi atas apa yang sudah berhasil dilampaui  dengan atau tanpa bantuan dari pemeran pendukung dalam setiap adeganya atau tanpa restu dari sang pembuat alur cerita kehidupan fana penuh intrik drama dan canda tawa komedi situasi yang setiap hari tanpa henti menyajikan sebuah bualan tak terfikirkan apakah dapat didaur ulang bila terjadi penyimpangan genetika ataukan menjadi  sebuah produk gagal  tanpa hak paten.
Ayah, ibu....
Maafkan kebodohan anakmu.!!!!

Senin, 15 April 2013

gubug sempit dibawah pohon mangga


          Tak pernah terbayang dan terlintas dalam pikiranku gubuk sempit dipojok parkiran dan dibawah pohon mangga ini bakal menjadi tempat favoritku. Di ruang sempit inilah justru imajinasi-imajinasi tanpa batasku keluar dan seolah menari-nari merayakan kebebasannya untuk menuntunku menemukan jalan-jalan baru. Penggalan dan simpangan memang tidak jarang menemuiku namun tidak jarang pula justru tikungan tajam dan tanjakan curamlah yang membuatku akhirnya lolos tersertifikasi SIM C tanpa jalur belakang.
          Jika flasback kembali kenapa akhirnya tempat ini menjadi pilihanku untuk menyendiri dalam liburan kali ini akupun belum menemukan apa alasannya, langkah kakiku tak hentinnya menuntunku untuk selalu kembali ketempat ini setiap harinya meskipun sebenarnya perkuliahan sedang libur dan tidak semestinya juga tempat ini kujadikan arena untuk merenung dan berjumpa dengan inspirasi serta penunjuk jalan keluar dari permainan sang pencipta dimana hadiah dari permainan tersebut adalah kedewasaan diri.
          Jangankan menjadikan tempat favorit, dulu membayangkan menginjak ruang sempit inipun tak pernah. Dahulu ruang ini tak ada menariknya sama sekali dalam kacamataku. Tapi entah sejak kapan dan apa alasannya akhirnya gubuk sempit inilah yang menjadi tempat persinggahanku ketika penat datang menghampiri. Persoalan-persoalan yang sering datang menghampiri bertemu dengan solusi ditempat ini. Histori macam apa yang sedang coba untuk kutapaki bersama tempat ini adalah pertanyaan yang detik ini sedang memenuhi rongga kepalaku.
          Aku rasa tidak ada yang menyadari bahwa gubuk kumuh ini meyajikan banyak cerita untuk kami. Mulai dari kemarahan, kebencian, kekecewaan, pertentangan, keberhasilan, kemengan, kebahagian, suka, duka, tawa, canda, tangis dan pendewasaan untuk kami. Mengingat itu semua rasanya tak tahan dan ingin segera menundukkan kepala, mengangkat topi dan memejamkan mata sebagai tanda penghormatan dan betapa malunya diriku. Malu bila akhirnya mengingat apa sebenarnya yang sudah kuberikan untuk membalas semua kenangan dan pembelajaran yang diberikan.
          Pernah suatu ketika aku sedang merasa amat sangat bodoh dan tolol, aku marah terhadap diriku sendiri, beliau-beliaupun seolah mempersiapkan seting adegan untuk semakin mengarahkanku masuk kelubang kebodohanku limatahun lalu, bahkan kawankupun memintaku untuk menikmati ketololan itu tempat inilah yang menjadi pelarianku. Ada yang mengatakan aku bodoh karena dalam kemarahanku aku membersihkan ruang kusam ini sendirian, ada yang berdecak tak percaya lelaki arogan sepertiku melakukannya dan adapula yang salut karena setidaknya kekecewaanku terhadap diriku sendiri membawa dampak positif untuk ruangan ini.
          Beberapa dari mereka yang mengetahui kekonyolanku sempat bertanya kenapa, bukan dengan karena namun kujawab dengan permohonan untuk menikmati semuanya sendiri dulu. Aku merasa belum siap bila persoalan ini akhirnya mereka ketahui. Sejujurnya saat ini aku sedang berada di persimpangan pilihan. Pilihan untuk kembali jatuh dan terperosok kedalam kebodohan yang dulu pernah kulakukan, menjaga profesionalisme kerja, memperjuangkan apa yang sepantasnya untuk diperjuangkan karena memang dengan tegas kujawab bila memang sangat berharga, membiarkan kesempatan itu hilang begitu saja atau menyadari siapa aku dan apa yang ku punya.
          Persimpangan yang sangat pelik untuk diramalkan bermuara dimanakan setiap ujung jalan dari kesemuanya. Wejangan dari salah satu inspirator menolak tuapun sepertinya belum mampu membuatku mantap dan memutuskan akan beranjak kearah yang mana dari cerita yang akan ku jalani. Aku paham betul jika semua pilhan pastilah memiliki resiko yang setimpal.  Membayangkan saja sudah membua dadaku berdesir, tak kuasa rasanya bila kemungkinan terburuk itu kembali harus kujalani. Aku kira semuanya sudah cukup, namun sepertinya Tuhan berkehendak lain. Apa ini sebagai tanda bahwa diujian yang sama dulu aku belum lulus sehingga saat ini harus diuji dengan kejadian yang hampir serupa.
          Sedikit terngingang dalam pikiranku, sampai kapan aku akn bersembunyi dibalik topeng ketegaranku. Sampai kapan secara sembunyi-sembunyi kuhabiskan waktuku sendiri digubuk ini. Beban pikiran ini serasa menyesakkan dada,ingin sekali rasanya berbagi dengan kawan-kawan disekeliling tempatku berada namun rasa malu lebih dominan ternyata. Tidak siap bila mereka mengetahui apa yang sebenarnya saat ini kurasa. Karena dalam mainsetku semua ini tidak sepantasnya kurasa. Semua ini terasa begitu nyata namun tak kuasa aku untuk bertanya apakah rasa ini sama.
          Spekulasi seperti apalagi yang harus aku pilih, penyesalan itu sepertinya akan semakin berkuasa bila suatu saat nanti baru aku sadari ternyata semua yang telah terlewati juga bermakna. Kepedihan yang masih saja bersemayam dengan damai semakin memenjarakanku dalam keragu-raguan. Antusiasme cerita yang dilantunkannya juga seolah meruntuhkan asumsi-asumsi mereka tentang apa yang sebenarnya sedang Tuhan persiapkan.
          Penggalan-penggalan episode tak putus seolah menampik semuanya. Klimaks dari setiap adegan terekam nyata dalam ingatan. Dengan alur inikah sang khalik coba menghukumku, menampar dan menyadarkanku tentang kisah-kisah yang dulu dengan semena-mena aku buang begitu saja. Kalau memang begitu sinopsis yang coba terangkai makai dengan kepala tegap akan kuterima peran ini. Menjadi pesakitan untuk menebus semua dosaku.
          Memberontak, meminta judul baru yang ingin kumainkan. Susah dan sepertinya mustahil, karena sang pembuat skenario hidup paham betul bahwa cerita inilah yang sedang dibutuhkan panggung sandiwaraku saat ini. Tidak sejalan memang dengan realita impian yang terbangun rapih dalam lamunan. Terlepas dari itu semua aku sadar bahwa ada korelasi positif untuk melanjutkan kehidupan. Badai ini hanya menghampiri karang yang memang pantas untuk segera beranjak meniti level selanjutnya. Ujian untuk kenaikan kedewasaan.
          Sempat terfikir bahwa semua akan menjadi lebih mudah seakan aku adalah pembuat cerita untuk kujalani, namun ternyata senyumanku ketika menghayalkannya hanyalah senyum palsu dalam sebuah kekuasaan absolute dari sang ilahi. Aku ditunjukkan keindahanya bukan untuk tersenyum, melainkan untuk segera pasang kuda-kuda bahwa aku harus melakukan lompatan lebih menggunakan kerikil kecil bernama cobaan.
          Suatu ketika ada kritikan pedas dari kawan-kawanku,menurut mereka bilang bila aku memandang resiko yang harus kuhadapi akan sama alurnya dengan perusak nahkoda tahun lalu berarti aku menyandingkan kedewasaanya dengan kebusukan ibu satu anak itu. Sebenarnya sepele saja kenapa aku coba menghindari bola salju yang semakin lama semakin membesar dan sadar atau tidak benar-benar bisa membuatku tergulung dan tenggelam dalam sebuah kisah manis yang mungkin akan menjadi penentu kehidupanku dimasa yang akan datang, menikmati hidup dan menghabiskan sisa umur beriringan. Aku hanya takut bila aku yang merubah, bukan kenyamanan yang diberikan yang akan menggeser profesionalismeku.
          Apa masih tidak cukup terhitung satu minggu sudah ku habiskan waktuku dari pagi sampai malam hari digubuk sempit dibawah pohon mangga itu. Ada beberapa pertanyaan yang terlontar menanggapi ketololanku, namun entah kenapa aku seperti tidak menghiraukannya dan tetap melanjutkan lamunanku serta menjadikannya sebagai pemeran utama dalam benakku. Adegan demi adegan amat sangat meresap dalam ingatan, terpahat rapi dan tersimpan dalam almari kenangan tanpa kunci namun terjaga sepanjang waktu agar tidak melebur dan lenyap begitu saja.
          Sungguh aku menyesalkan perjalanan itu, tidak sebanding rasanya manis dan indahnya putaran empat roda dikala tengah malam dingin tersebut bila dibandingkan dengan penatnya otak bekuku yang sekarang ini sedang mencari celah untuk menemukan kehangatan pelukan dari sang hawa. Apa memang terlalu hina aku untuk terpenjara dalam nikmatnya alur cerita hasil setingan dari penguasa.?
          Apa sebenarnya yang coba menghancurkanku, membuatku seolah tak berdaya dan ada yang menawarkan solusi kembali ketitik nadir itu. Suatu titik dimana bila ditelaah aku bakal menjadi lebih hina dibanding sampah.tetapi kilauan penyelesaian singkatnya sangat mengiurkan untuk segera aku selami. Saat aku terjun dan tenggelam apa masih ada penyelamat itu setia menemaniku seperti potret kesalah pahaman yang saat ini ramai dibicarakan. Aku rasa tidak, mungkin akan segera berpaling dan mengambil langkah pasti untuk menghabiskan sisa hidup bersama di dataran seberang. Atau mungkin merelakan kehidupanya terkangkangi dan menjadi selir dalam tangisan sepanjang waktu.
          Tak ayal semua itu menambah persimpangan yang menjadi simpul dari kemacetan kedewasaanku dalam berfikir. Bahkan pengatur lalu lintas handal sekelas OSP saja belum mampu menilangku serta membuatku mengambil keputusan agar jangan sampai berputar arah kemudian dengan mantap mengencangkan sabuk pengaman lalu melesat jauh meninggalkan persimpanangan kemudian membuktikan bahwa resiko itu hanya ketakutanku saja.
          Maaf semuanya begitu cepat terjadi. Seting cerita yang dibuat oleh sang sutradara benar-benar mampu memangkas rasionalitasku kemudian menculikku dan meletakanku dalam simpangan tanpa muara yang terlihat dimana ujungnya. I’m sorry my patner.