Tak pernah terbayang dan terlintas
dalam pikiranku gubuk sempit dipojok parkiran dan dibawah pohon mangga ini
bakal menjadi tempat favoritku. Di ruang sempit inilah justru
imajinasi-imajinasi tanpa batasku keluar dan seolah menari-nari merayakan kebebasannya
untuk menuntunku menemukan jalan-jalan baru. Penggalan dan simpangan memang
tidak jarang menemuiku namun tidak jarang pula justru tikungan tajam dan
tanjakan curamlah yang membuatku akhirnya lolos tersertifikasi SIM C tanpa
jalur belakang.
Jika flasback kembali kenapa akhirnya
tempat ini menjadi pilihanku untuk menyendiri dalam liburan kali ini akupun
belum menemukan apa alasannya, langkah kakiku tak hentinnya menuntunku untuk
selalu kembali ketempat ini setiap harinya meskipun sebenarnya perkuliahan
sedang libur dan tidak semestinya juga tempat ini kujadikan arena untuk
merenung dan berjumpa dengan inspirasi serta penunjuk jalan keluar dari
permainan sang pencipta dimana hadiah dari permainan tersebut adalah kedewasaan
diri.
Jangankan menjadikan tempat favorit,
dulu membayangkan menginjak ruang sempit inipun tak pernah. Dahulu ruang ini
tak ada menariknya sama sekali dalam kacamataku. Tapi entah sejak kapan dan apa
alasannya akhirnya gubuk sempit inilah yang menjadi tempat persinggahanku ketika
penat datang menghampiri. Persoalan-persoalan yang sering datang menghampiri
bertemu dengan solusi ditempat ini. Histori macam apa yang sedang coba untuk
kutapaki bersama tempat ini adalah pertanyaan yang detik ini sedang memenuhi
rongga kepalaku.
Aku rasa tidak ada yang menyadari
bahwa gubuk kumuh ini meyajikan banyak cerita untuk kami. Mulai dari kemarahan,
kebencian, kekecewaan, pertentangan, keberhasilan, kemengan, kebahagian, suka,
duka, tawa, canda, tangis dan pendewasaan untuk kami. Mengingat itu semua
rasanya tak tahan dan ingin segera menundukkan kepala, mengangkat topi dan
memejamkan mata sebagai tanda penghormatan dan betapa malunya diriku. Malu bila
akhirnya mengingat apa sebenarnya yang sudah kuberikan untuk membalas semua
kenangan dan pembelajaran yang diberikan.
Pernah suatu ketika aku sedang merasa
amat sangat bodoh dan tolol, aku marah terhadap diriku sendiri,
beliau-beliaupun seolah mempersiapkan seting adegan untuk semakin mengarahkanku
masuk kelubang kebodohanku limatahun lalu, bahkan kawankupun memintaku untuk
menikmati ketololan itu tempat inilah yang menjadi pelarianku. Ada yang
mengatakan aku bodoh karena dalam kemarahanku aku membersihkan ruang kusam ini
sendirian, ada yang berdecak tak percaya lelaki arogan sepertiku melakukannya dan
adapula yang salut karena setidaknya kekecewaanku terhadap diriku sendiri
membawa dampak positif untuk ruangan ini.
Beberapa dari mereka yang mengetahui
kekonyolanku sempat bertanya kenapa, bukan dengan karena namun kujawab dengan
permohonan untuk menikmati semuanya sendiri dulu. Aku merasa belum siap bila
persoalan ini akhirnya mereka ketahui. Sejujurnya saat ini aku sedang berada di
persimpangan pilihan. Pilihan untuk kembali jatuh dan terperosok kedalam
kebodohan yang dulu pernah kulakukan, menjaga profesionalisme kerja,
memperjuangkan apa yang sepantasnya untuk diperjuangkan karena memang dengan
tegas kujawab bila memang sangat berharga, membiarkan kesempatan itu hilang
begitu saja atau menyadari siapa aku dan apa yang ku punya.
Persimpangan yang sangat pelik untuk
diramalkan bermuara dimanakan setiap ujung jalan dari kesemuanya. Wejangan dari
salah satu inspirator menolak tuapun sepertinya belum mampu membuatku mantap
dan memutuskan akan beranjak kearah yang mana dari cerita yang akan ku jalani. Aku
paham betul jika semua pilhan pastilah memiliki resiko yang setimpal. Membayangkan saja sudah membua dadaku
berdesir, tak kuasa rasanya bila kemungkinan terburuk itu kembali harus
kujalani. Aku kira semuanya sudah cukup, namun sepertinya Tuhan berkehendak
lain. Apa ini sebagai tanda bahwa diujian yang sama dulu aku belum lulus
sehingga saat ini harus diuji dengan kejadian yang hampir serupa.
Sedikit terngingang dalam pikiranku,
sampai kapan aku akn bersembunyi dibalik topeng ketegaranku. Sampai kapan secara
sembunyi-sembunyi kuhabiskan waktuku sendiri digubuk ini. Beban pikiran ini
serasa menyesakkan dada,ingin sekali rasanya berbagi dengan kawan-kawan
disekeliling tempatku berada namun rasa malu lebih dominan ternyata. Tidak siap
bila mereka mengetahui apa yang sebenarnya saat ini kurasa. Karena dalam
mainsetku semua ini tidak sepantasnya kurasa. Semua ini terasa begitu nyata
namun tak kuasa aku untuk bertanya apakah rasa ini sama.
Spekulasi seperti apalagi yang harus
aku pilih, penyesalan itu sepertinya akan semakin berkuasa bila suatu saat
nanti baru aku sadari ternyata semua yang telah terlewati juga bermakna.
Kepedihan yang masih saja bersemayam dengan damai semakin memenjarakanku dalam
keragu-raguan. Antusiasme cerita yang dilantunkannya juga seolah meruntuhkan
asumsi-asumsi mereka tentang apa yang sebenarnya sedang Tuhan persiapkan.
Penggalan-penggalan episode tak putus
seolah menampik semuanya. Klimaks dari setiap adegan terekam nyata dalam
ingatan. Dengan alur inikah sang khalik coba menghukumku, menampar dan
menyadarkanku tentang kisah-kisah yang dulu dengan semena-mena aku buang begitu
saja. Kalau memang begitu sinopsis yang coba terangkai makai dengan kepala
tegap akan kuterima peran ini. Menjadi pesakitan untuk menebus semua dosaku.
Memberontak, meminta judul baru yang
ingin kumainkan. Susah dan sepertinya mustahil, karena sang pembuat skenario
hidup paham betul bahwa cerita inilah yang sedang dibutuhkan panggung
sandiwaraku saat ini. Tidak sejalan memang dengan realita impian yang terbangun
rapih dalam lamunan. Terlepas dari itu semua aku sadar bahwa ada korelasi
positif untuk melanjutkan kehidupan. Badai ini hanya menghampiri karang yang
memang pantas untuk segera beranjak meniti level selanjutnya. Ujian untuk
kenaikan kedewasaan.
Sempat terfikir bahwa semua akan
menjadi lebih mudah seakan aku adalah pembuat cerita untuk kujalani, namun
ternyata senyumanku ketika menghayalkannya hanyalah senyum palsu dalam sebuah
kekuasaan absolute dari sang ilahi. Aku ditunjukkan keindahanya bukan untuk tersenyum,
melainkan untuk segera pasang kuda-kuda bahwa aku harus melakukan lompatan
lebih menggunakan kerikil kecil bernama cobaan.
Suatu ketika ada kritikan pedas dari
kawan-kawanku,menurut mereka bilang bila aku memandang resiko yang harus
kuhadapi akan sama alurnya dengan perusak nahkoda tahun lalu berarti aku
menyandingkan kedewasaanya dengan kebusukan ibu satu anak itu. Sebenarnya
sepele saja kenapa aku coba menghindari bola salju yang semakin lama semakin
membesar dan sadar atau tidak benar-benar bisa membuatku tergulung dan
tenggelam dalam sebuah kisah manis yang mungkin akan menjadi penentu
kehidupanku dimasa yang akan datang, menikmati hidup dan menghabiskan sisa umur
beriringan. Aku hanya takut bila aku yang merubah, bukan kenyamanan yang
diberikan yang akan menggeser profesionalismeku.
Apa masih tidak cukup terhitung satu
minggu sudah ku habiskan waktuku dari pagi sampai malam hari digubuk sempit
dibawah pohon mangga itu. Ada beberapa pertanyaan yang terlontar menanggapi
ketololanku, namun entah kenapa aku seperti tidak menghiraukannya dan tetap
melanjutkan lamunanku serta menjadikannya sebagai pemeran utama dalam benakku.
Adegan demi adegan amat sangat meresap dalam ingatan, terpahat rapi dan
tersimpan dalam almari kenangan tanpa kunci namun terjaga sepanjang waktu agar
tidak melebur dan lenyap begitu saja.
Sungguh aku menyesalkan perjalanan
itu, tidak sebanding rasanya manis dan indahnya putaran empat roda dikala
tengah malam dingin tersebut bila dibandingkan dengan penatnya otak bekuku yang
sekarang ini sedang mencari celah untuk menemukan kehangatan pelukan dari sang
hawa. Apa memang terlalu hina aku untuk terpenjara dalam nikmatnya alur cerita
hasil setingan dari penguasa.?
Apa sebenarnya yang coba
menghancurkanku, membuatku seolah tak berdaya dan ada yang menawarkan solusi
kembali ketitik nadir itu. Suatu titik dimana bila ditelaah aku bakal menjadi
lebih hina dibanding sampah.tetapi kilauan penyelesaian singkatnya sangat
mengiurkan untuk segera aku selami. Saat aku terjun dan tenggelam apa masih ada
penyelamat itu setia menemaniku seperti potret kesalah pahaman yang saat ini
ramai dibicarakan. Aku rasa tidak, mungkin akan segera berpaling dan mengambil
langkah pasti untuk menghabiskan sisa hidup bersama di dataran seberang. Atau
mungkin merelakan kehidupanya terkangkangi dan menjadi selir dalam tangisan
sepanjang waktu.
Tak ayal semua itu menambah
persimpangan yang menjadi simpul dari kemacetan kedewasaanku dalam berfikir.
Bahkan pengatur lalu lintas handal sekelas OSP saja belum mampu menilangku
serta membuatku mengambil keputusan agar jangan sampai berputar arah kemudian
dengan mantap mengencangkan sabuk pengaman lalu melesat jauh meninggalkan
persimpanangan kemudian membuktikan bahwa resiko itu hanya ketakutanku saja.
Maaf semuanya begitu cepat terjadi.
Seting cerita yang dibuat oleh sang sutradara benar-benar mampu memangkas
rasionalitasku kemudian menculikku dan meletakanku dalam simpangan tanpa muara
yang terlihat dimana ujungnya. I’m sorry my patner.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar