Selasa, 24 September 2013

sesak dan tertahan



Sesak dan tertahan, menekan tanpa basa-basi datang dengan pasti menghujam tepat dijantung dan seketika itu juga membuat semuanya diam termenung dan meradang. Tak kuasa mulai menggoreskan dari mana namun lantunan-lantunan melodi cerita sendu kehidupan telah mengalun dengan hikmatnya. Saat genderang ketegangan ditabuh dan mesin-mesin pres penekan rasionalitas dan hati nurani nan suci mulai bekerja membuat semuanya terasa lemah tak berdaya. Berteriak dan meronta sepertinya hanya menjadi keinginan semu tanpa argument. Mencoba dan mencoba tak henti-hentinya dilakukan demi memberontak dan menunjukkan betapa kokohnya karang yang satu ini. Linangannya berusaha tertahan dan menyesakkan dada, walaupun entah saat ini, esok, lusa atau suatu hari nanti semuanya akan tercurahkan dan pecah.
Disaat-saat seperti inilah mulai merasa bahwa keputusan untuk berdiri sendiri menantang badai terasa keliru. Disaat membutuhkan bahu untuk bersandar dan penyeka keringat serta peluh semuanya taka ada. Bukan karena belum ada, namun semua seperti hilang ditelan bumi dan tumbuh subur ketika membutuhkan uluran tangan. Apapun itu pilihan telah dibuat dan semua akan lebih indah saat harus hancur ketika mempertahankan idealisme dari pada harus berbalik dan menjilat ludah sendiri, dan hanya anjing yang melakukannya.
Tawa itu terasa sinis mencibir dan menyayat, berusaha merobek setiap persendian agar segera terkapar. Saat terpuruk seperti ini hanyalah cibiran yang setia menemani. Sahabat, teman, pacar, bawahan, rekan, fuck.!!! Label itu hanya muncul ketika uluran tangan ini dibutuhkan, namun saat tangan ini mengulur butuh sebuah tarikan dan dorongan bias ditebak kemana muaranya dan apa alasannya. Meskipun kadang berkilah dengan cara amatiran dan membat semuanya semakin menyilaukan dan enggan untuk dilanjutkan.
Pucat pasi, berdiri menantang ombak sendiri. Dan semua terilhami dari sebuah kalimat motivasi yang berbunyi “orang yang paling kuat adalah mereka yang paling lama berdiri sendiri”. Salah mungkin ketika dikaitkan dengan kedudukan sebagai mahkluk social, namun kebenarannya terasa mutlak dan absolute saat meniliknya dari sudut penghiatan dan pengingkaran yang selama ini menari-nari indah dan bersemayam dalam setiap detik kehidupan. Sengaja atau tidak itu tidak menjadi prioritas untuk diungkap, namun kenapa dan jawaban yang dibutuhkan sudah barang tentu adalah karena. Karena yang seperti itu sulit dan bahkan amat sangat langka didapatkan ditengan pecundang-pecundang ulung yang senantiasa menghiasi panggung sandiwara ini.
Terlalu feminim saat seorang arogan menitikan air mata, tetapi sesaknya sungguh tak terbantahkan lagi dan akhirnya menjebol setiap batasan gender yang terbangun rapi kokoh dan kokoh. Bahkan apabila peluh itu benar-benar mengalir itu sama artinya dengan pengingkaran janji sebagai seorang kaum maskulin.
Benar-benar baru terasa beratnya memikul semuanya sendiri, saat keseimbangan menurun dan butuh tempat bersandar tetapi yang didapat hanya bentangan masalah kehidupan yang harus dilakoni tanpa pendamping untuk sementara. Sehingga entah kapan mulainya sepertinya dendam yang terpelihara telah beranak pinak dan tumbuh subur dalam jiwa. Mungkin semua adalah training bagi sang calon orang besar yang dengan besar kepala namun dengan keteguhan hati mengatakan bahwa “saya akan lebih besar dari einsten”. Kutipan yang tentunya membuat ketawa lebar langsung merekah dalam seketika, mengernyitkan dahi dan bergumam dalam hati mengumpat sepuasanya. Setiap orang yang mengumpat serta mencibir telah terekam setiap detail wajahnya. Sehingga keputusan bulat untuk menampar dengan kesuksesan yang kelak teraih bulat dan mutlak rasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar