Sesak dan tertahan, menekan tanpa basa-basi datang dengan
pasti menghujam tepat dijantung dan seketika itu juga membuat semuanya diam
termenung dan meradang. Tak kuasa mulai menggoreskan dari mana namun
lantunan-lantunan melodi cerita sendu kehidupan telah mengalun dengan
hikmatnya. Saat genderang ketegangan ditabuh dan mesin-mesin pres penekan
rasionalitas dan hati nurani nan suci mulai bekerja membuat semuanya terasa
lemah tak berdaya. Berteriak dan meronta sepertinya hanya menjadi keinginan
semu tanpa argument. Mencoba dan mencoba tak henti-hentinya dilakukan demi
memberontak dan menunjukkan betapa kokohnya karang yang satu ini. Linangannya
berusaha tertahan dan menyesakkan dada, walaupun entah saat ini, esok, lusa
atau suatu hari nanti semuanya akan tercurahkan dan pecah.
Disaat-saat seperti inilah mulai merasa bahwa keputusan untuk
berdiri sendiri menantang badai terasa keliru. Disaat membutuhkan bahu untuk
bersandar dan penyeka keringat serta peluh semuanya taka ada. Bukan karena
belum ada, namun semua seperti hilang ditelan bumi dan tumbuh subur ketika
membutuhkan uluran tangan. Apapun itu pilihan telah dibuat dan semua akan lebih
indah saat harus hancur ketika mempertahankan idealisme dari pada harus
berbalik dan menjilat ludah sendiri, dan hanya anjing yang melakukannya.
Tawa itu terasa sinis mencibir dan menyayat, berusaha merobek
setiap persendian agar segera terkapar. Saat terpuruk seperti ini hanyalah
cibiran yang setia menemani. Sahabat, teman, pacar, bawahan, rekan, fuck.!!!
Label itu hanya muncul ketika uluran tangan ini dibutuhkan, namun saat tangan
ini mengulur butuh sebuah tarikan dan dorongan bias ditebak kemana muaranya dan
apa alasannya. Meskipun kadang berkilah dengan cara amatiran dan membat
semuanya semakin menyilaukan dan enggan untuk dilanjutkan.
Pucat pasi, berdiri menantang ombak sendiri. Dan semua
terilhami dari sebuah kalimat motivasi yang berbunyi “orang yang paling kuat
adalah mereka yang paling lama berdiri sendiri”. Salah mungkin ketika dikaitkan
dengan kedudukan sebagai mahkluk social, namun kebenarannya terasa mutlak dan
absolute saat meniliknya dari sudut penghiatan dan pengingkaran yang selama ini
menari-nari indah dan bersemayam dalam setiap detik kehidupan. Sengaja atau
tidak itu tidak menjadi prioritas untuk diungkap, namun kenapa dan jawaban yang
dibutuhkan sudah barang tentu adalah karena. Karena yang seperti itu sulit dan
bahkan amat sangat langka didapatkan ditengan pecundang-pecundang ulung yang
senantiasa menghiasi panggung sandiwara ini.
Terlalu feminim saat seorang arogan menitikan air mata, tetapi
sesaknya sungguh tak terbantahkan lagi dan akhirnya menjebol setiap batasan
gender yang terbangun rapi kokoh dan kokoh. Bahkan apabila peluh itu
benar-benar mengalir itu sama artinya dengan pengingkaran janji sebagai seorang
kaum maskulin.
Benar-benar baru terasa beratnya memikul semuanya sendiri,
saat keseimbangan menurun dan butuh tempat bersandar tetapi yang didapat hanya
bentangan masalah kehidupan yang harus dilakoni tanpa pendamping untuk
sementara. Sehingga entah kapan mulainya sepertinya dendam yang terpelihara
telah beranak pinak dan tumbuh subur dalam jiwa. Mungkin semua adalah training
bagi sang calon orang besar yang dengan besar kepala namun dengan keteguhan
hati mengatakan bahwa “saya akan lebih besar dari einsten”. Kutipan yang
tentunya membuat ketawa lebar langsung merekah dalam seketika, mengernyitkan
dahi dan bergumam dalam hati mengumpat sepuasanya. Setiap orang yang mengumpat
serta mencibir telah terekam setiap detail wajahnya. Sehingga keputusan bulat
untuk menampar dengan kesuksesan yang kelak teraih bulat dan mutlak rasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar