Sabtu, 03 Mei 2014

KILATAN AUORORA



          Ada sebuah masa dimana tiba-tiba terjadi sedikit kilatan menyilaukan mata menusuk penggelihatan membuyarkan fokus tanpa tujuan. Tidak lagi menjadi hal lumrah yang menjemukan ketika detik demi detik itu terjadi. Menjadi sebuah barang langka ditengan keremangan malam muncul kilatan yang begitu saja muncul tanpa sedikitpun mengucapkan salam selamat datang. Tak ayal menyentak seluruh kalbu dalam belenggu pilu tak kurang dari enam puluh bulan penantian. Entah siapa yang akhirnya mampu membisikan teriakan kecil pemberontakan nurani terhadap sebuah prinsip idealisme romansa selama seragam putih biru terasa semakin kental dari masa ke masa.

          Sepertinya keyakinan itu mulai goyah atau mungkin logika mulai berjalan dijalur realistis atau bisa saja ini adalah cubitan dari tuhan untuk sekedar membuka mata bahwa ada ciptaan lain yang ditujukan untuk menemani langkah menghabiskan sisa usia. Dimana awal mulanya itu adalah sebuah pertanyaan yang akan selalu saja menjadi sebuah tanda tanya saat belum ada konfrontasi dari beberapa unsur terkait. Tetapi semua itu rasa-rasanya cepat atau lambat akan segera memudar seiring melemahnya keyakinan untuk kembali pada prinsip keyakinan yang dimaksud.

          Ada jaminan bahwa semua berputar tidak atas dasar melelehnya sebuah gunung es yang membatu sekeras kepala si pelaku. Layaknya aliran listrik yang mengaliri setiap sendi kehidupan maka tidak jarang akan ditemui naik turunya tegangan. Dalam kasus ini tidak menjadi tabu apabila berbicara dan disandingkan dengan sedikit kecapan fatamorgana. Tidak terhitung lagi berapa kalimat bijak yang selalu dihembuskan untuk menyejukan otak panas namun membeku. Berbagai macam tekanan bukan menghancurkan tapi justru ini menjadi semacam training untuk semakin membekukan keyakinan.

          Sejumput romansa terjadi ditanah anarki, mengisahkan tentang sucinya asmara diantara dua insane yang menjadi sejarah dalam perjalanan kemerdekaan republik ini. Kisah itu seharusnya memperkuat ketika didilat dari aspek alur cerita, tetapi dalam kasus special yang tertangani justru terjadi sebaliknya. Melemah dan sepertinya akan segera pudar. Ada kalanya terlintas bahwa apakah kilatan-kilatan ini hanya terjadi untuk sedikit memberikan tanjakan lalu kemudian turunan yang membuat perjalanan ini tidak membosankan. Terdengar suara akar rumput berteriak membisikan makna.
          Langkah realistis sudah diputuskan, keyakinan mungkin terlihat tergoyahkan. Tercermin dari berubahnya fokus tujuan. Tusukan demi tusukan menikam dan menghujam tepat pada inti keyakinan tatkala mendengar penuturan dari sumber terpercaya bahwa ada sebuah factor X yang muncul dari dari dalam dan mengaharuskannya meninggalkan pilihan yang sudah dibuat dan berpindah ketempat yang dianggal lebih relevan dengan status sosial. Bukan salah dari bunda mengandung apabila akhirnya ada insane yang sedang dimabuk asmara terdampar pada sebuah kubangan busuk ditengah terjalnya pendakian menggapai sebuah gelar sarjana. Ada dalam system yang konon katanya demokrasi tetapi hanya rekayasa semata membungkus rapi kediktatoran system orde baru. Hanya kerbau bodoh yang menghuni tetapi tidak mampu mencium wanginya aroma bangkai dari para elit pemegang kekuasaan.
          Sempat meronta meminta untuk terjungkal dalam bukit yang sama dan seperti yang biasa terjadi, ya semua sia-sia. Waktu adalah ciptaan  sang khalik yang berbeda dengan ciptaan lainnya. Diciptakan hanya berjalan searah, maju kedepan dan hanya mampu menyisakan kenangan yang kadangkala membekas tetapi sering juga hanya sebagai masalalu semata. Menjadi tidak lucu namun sering memancing gelak tawa. Saat keyakinan yang dulunya gigih dipertahankan dengan ucapan lantang untuk bertahan menerjang gelombang sendirian lalu kemudian mengharap akan terdampar bersama. Tapi kini dengan pengakuan, dengan cubitan dan tamparan serta petunjuk melalui adegan drama kisah nyata sepertinya semua berubah, menjelma menjadi ketidak berdayaan menolak melemahnya kepercayaan untuk menghadang factor X yang muncul dari dalam itu sendiri. Karena seperti yang sudah dituturkan factor X itu berasal dari mereka yang konon katanya ditelapak kakinya tersimpan surga.
          Dengan kenyataan itu rasa-rasanya naif sekali apabila tetap bertahan pada prinsip keyakinan untuk membawa bahagia bersama. Entah menurut sudut pandang yang terlihat keputusan itu terlihat menyimpang dan terkesan pragmatis, tetapi lagi-lagi bukan konteks larangan yang menjadi factor dari memupusnya harapan namun mari melihat dari siapa yang melontarkan perintah itu. Surga adalah taruhanya, dan itu bukan hal sepele untuk dilalui meskipun bersama. Selamat jalan, selamat tinggal dan semoga baktimu membawa bahagia. Karena tuhan tidak tidur dan tuhan mencintai mereka yang berbakti dengan mereka  yang terdapat surge ditelapak kakinya J .

LOOK, LISTEN AND LEARN

Bukan dalam sejam, sehari, sebulan atau bahkan setahun. Namun semua dimulai dengan proses yang tidak bisa dibilang singkat. Rangkaian pembelajaran panjang yang diawali sejak dini dan dalam lingkup terkecil. Ya benar, dimulai dari dini dan dari pendidikan keluarga. Dilahirkan, dirawat dan tumbuh besar dalam demokratisasi serta idealisme yang sangat kental membunngkus kepemimpinan yang setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik dipertontonkan bukan sebagai suguhan makanan pembuka tetapi sebagai menu utama untuk menghadapi terjalnya kehidupan yang semakin ganas pada pemimpin yang lemah.
Tidak ada kata untuk menyerah bagi seorang pemenang, tidak akan pernah ada pemimpin yang ditakdirkan sebagai pemenang hanya akan member warna sebagai pengisi kekosongan belaka. Lebih dari ekspektasi bodoh yang selalu saja membayangi. Pemimpin pemenang (LEADER WINNER) selalu ditempatkan untuk mengukir sejarah-sejarah baru, menggebrak dengan ide-ide yang mungkin hanya bisa dibayangkan sebelumnya bahkan mungkin belum pernah terfikirkan. Fokus utama dari apa yang disebut pemimpin adalah arti mendasar dari sebutan itu. Tak terlalu muluk dan tidak pula terlampau merendah apabila pemimpin itu adalah pelayan bagi anggota atau bagi mereka yang dipimpin.
Rasa-rasanyapun tidak perlu digaris bawahi bahwa pemimpin tidak selalu memiliki jabatan sebagai ketua, namun ketua haruslah menjadi pemimpin. Ilmu dasar itu sudah sejak amat sangat lama ditanamkan entah sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai doktrin penuntun langkah. Tidak ada kebenaran absolute dalam hal apapun, dan kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Bukan hal mustahil dengan kehendaknya pada saatnya nanti akan terbantah hasil dari 1+1=2. Ilmu pasti yang selalu diagung-agungkan sehingga kapitalisme menghapus sebagian keimanan terhadap kekuatan absolute yang dimiliki sang ilahi.
Kepemimpinan itu sebenarnya sudah mendapatkan ujian entah sejak kapan tepatnya, namun secara riil konsep leadership itu mulai menemui apa itu yang disebut ujian adalah saat bangga dengan seragam putih biru. Meskipun tidak pernah menduduki posisi sebagai pucuk pimpinan dari perkumpulan yang secara sah dan resmi diakui sebagai induk intern semua peserta didik setingkat putih biru dan juga putih abu-abu.
Tak kurang dua periode berguru dan bersahabat dengan proses serta pengalaman yang juga tidak pernah beranjak dari seksi bidang dua yang lagi-lagi bagian kerjanya adalah bela Negara. Bukan hal konyol apabila bidang itu selalu memunculkan pemimpin-pemimpin ulung dalam berbagai disiplin keilmuan. Tidak mengherankan pula hanya orang-orang terpilih yang entah dengan sengaja atau kebetulan ditempatkan dibidang vital ini, nemun yang jelas bukan tugas yang ringan untuk melakukan dua hal bersamaan yaitu biasa disebut Training of Trainer. Sebuah hal yang hampir mustahil dilakukan apabila bukan takdir yang menempatkannya.
Masa selanjutnya adalah masa jaya putih abu-abu, terlempar dalam sudut sempit bekas kubangan lumpur yang berubah menjadi lokasi didik pencetak generas-generasi emas untuk kemudian saat ini berstanstar ISO 9000:1 serta bersertifikasi akreditasi tertinggi dari sang penyelenggara. Tidak gampang menerima takdir terdampar disana, dan disanalah untuk kesekian kalinya ujian kepemimpinan semaikin diuji dengan ditahun pertama secara mutlak lebih dari 75% memenangi pertarungan politik untuk kemudian dinobatkan sebagai ketua organisasi resmi yang ada dalam system pendidikan tahap ini. Mengejutkan memang, dikelas dan diusia semuda itu sudah mendapat tanggung jawab untuk memimpin perkumpulan sebesar itu. Namun lagi-lagi ini adalah cara Tuhan untuk memberikan pembelajaran mematangkan pemimpin muda semuda mungkin. Digembleng dengan berbagai ujian yang dilihatnya dari sudut pandang yang berbeda sehingga menjelma sebagai tantangan yang pantang untuk tidak ditaklukkan.
Beranjak kemasa dimana lagi-lagi merasa terjebak dalam lingkungan dengan system bodoh. Korupsi, kolusi dan nepotisme kental sekali tercium busuknya dari kursi singga sana penguasa unit 1, 2, dan 3. All system in a palace is FUCK.!!!! BITCH, and many more.
Tapi inilah lagi-lagi Tuhan menunjukkan kuasanya. Melemparnya ketempat sampah bukan semata-mata untuk bergabung menjadi sampah tetapi sekali lagi berproses untuk membuktikan kilauannya tak akan pernah redup meskipun ditempatkan dikubangan sampah busuk sekalipun. Diusia belianya sekali lagi mengukir cerita dengan menjadi wakil rakyat termuda sepanjang sejarah civitas dan ditempatkan dibidang yang lagi-lagi menjadi roh dari organisasi. Tak hanya berhenti disitu saja tetapi berlanjut menjadi panglima perang termuda dalam konsep acara terbesar sekaligus paling kompleks dalam hitungan periode. Meskipun harus menjadi bawahan dari pemimpin yang mulanya bersinar namun meredup karena selangkangan.
Sekali lagi itu bukan hal mudah untuk dijalankan, tapi sinarnya tak akan meredup justru semakin bersinar dengan memenangkan pertarungan politik yang konon katanya disebut sebagai pertarungan terberat sepanjang sejarah perkumpulan. Bukan hanya maju perang sendiri namun dibalik masing-masing kandidat berdiri dua pihak yang berkepentingan. Sempat mendapat intervensi tapi gonggongan pelacur jalanan itu hanya menjadi angin lalu yang dikemudian hari karya membanggakan yang mereka buat dibawah kepemimpinan Leader Winner justru mencekik dan memotong lidah jalangnya lalu melemparnya ketong sampah menjadi santapan anjing-anjing lapar akan belaian pelacur sepertinya.
Entah melebihi atau justru amat sangat jauh dari ekpspektasi tapi banyak hal-hal yang biasa disebut luar biasa terjadi. Setidaknya itu komentar dari pihak luar. Dilain pihak prose situ terus berjalan dan semakin terjal saja. Tidak hanya menguji dari segi kognitif, namun semua lini baik psikomotor, afektif maupun emosional yang tidak saja tersentuh ujian tetapi kali ini bisa saja menjadi fokus. Hingga periode itu berakhir dan memunculkan sedikit stigma buruk terhadap generasi setelahnya, namun biarkanlah sekali lagi anjing-anjing tolol menggonggong tanpa tau apa yang sebenarnya sedang mereka komentari.
Terlepas dari itu semua ada sedikit kesimpulan yang menjadikan kunci dari sejarah-sejarah baru yang tercipta. Yaitu “LOOK, LISTEN AND LEARN”
LOOK artinya melihat, sebagai seorang pemimpin henndaknya mampu untuk melihat apa yang sedang dibutuhkan anak buahnya saat ini dan melihat tantangan apa  yang ada dimasa mendatang untuk kemudian mempersiapkan mereka agar lebih siap dan lebih sukses lagi. Tak lupa melihat kemasa sebelumnya, bukan berarti terjebak dimasa lalu atau mendewakan mereka yang terdahulu tapi melihat langkah mereka untuk selanjutnya belajar dari apa saja yang menggagalkan mereka dan berguru dengan apa yang membuat mereka berhasil sukses. The leader must have good look for visionary.
LISTEN artinya mendengarkan, suara akar rumput bukanlah suara sumbang yang tak layak mendapat perhatian namun justru pemimpin adalah pelayan mereka. THEY’S THE BOSS.!!! Mereka berteriak bukan semata-mata untuk mengekspresikan kebencian tetapi membisikan sebuah kerisauan akan kebenaran serta memperjuangkan apa yang mereka butuhkan dan menjadi hak mereka. Ingat kenapa tuhan member kita dua telinga??? Itu artinya agar kita mendengar dua kali sebelum berkata maupun bertindak. Dan lagi-lagi tidak ada maksud mendewakan mereka yang sudah sepuh, tapi tidak ada salahnya mendengarkan nasehat atau minimal anggaplah itu sebagai saran bukti saying dari generasi sebelumnnya. Jika telingamu tuli, maka mustahil Tuhan membuat hatimu tak mendengar.
And the Last but not Least, LEARN artinya belajar. Belajar disini haruslah dimaknai sebagai learning by doing. Belajar sambil melakukan memang terdengar mustahil namun pemimpin dalam bait diatas mampu melakukannya. Itu artinya bukan hal mustahil untuk dilakukan generasi setelahnya. Karena pemimpin ditempatkan dalam suatu kaum bukan hanya untuk sekedar belajar namun melakukan sesuatu demi melayani anggotanya. Dan tentunya menggunakan pengalaman pribadi maupun pendahulu sebagai ajang pembelajaran itu tidaklah hina. Sekali lagi bukan mendewakan namun bukan Karenna pendahulu itu lebih pandai darimu tapi minimal pendahulu lebih dulu berada diposisimu saat ini.
Terakhir yang perlu disampaikan dan perlu kalian tahu, aku mencintai organisasi ini. Aku bangga pernah menjadi bagiannya dan aku akan selalu membantu kalian dengan caraku meskipun kelian mengolok-olokku sebagai sok tau, arogan, sok pintar atau apalah itu. Tapi percayalah semua yang kami lakukan itu demi kalian. Tidak ada artinya kami menghancurkan kalian, justru itu seperti melumuri  muka kami dengan kotoran kami sendiri. Sekali lagi percayalah, aku sayang kalian..and I always on your side every time.


Minggu, 23 Februari 2014

Sajak Lara Putra Dewa

Sajak lara putra dewa menggambarkan bagaimana keji dan binalnya sebuah konflik kepentingan. Saat dimana masa keemasan sudah dipilih untuk ditanggalkan yang tersisa hanyalah sebuah kata bermakna singkirkan.!!! Merintih hanya semakin menambah riak-riak tawa sinis dalam dari sudut sempit. Tidak pernah sedikitpun mencoba mengklaim bahwa semua yang ditinggalkan adalah warisan. Biarkan sang waktu yang menunjukkan kedikdayaanya mengungkap setiap detail kebenaran.

      Berjalan tertatih dan sendiri, sudah pasti akan segera dijalani mengingat derajat tak lagi sama. Tapi renungkan kembali, tertatih dengan barang bawaan seperti apa. Menyusuri terjal dan curamnya pendewasaan dalam studi kebijaksanaan menjadi bukti kongkrit dari sebuah sertifikat berlebelkan “HANYA DICETAK SERATUS TAHUN SEKALI”.

       Lalu apakan masih terlihat memprihatinkan dan pantas dilirik sebelah mata? Biarkan otak beku menuntun pecundang diseberang menemukan jawaban dari paradigma narasi sang ilahi.

       Membuka lembaran baru sang kuda kayu dengan secercah harapan bahwa time’s up, enough. Tapi ternyata semua hanyalah oase dalam padang safana. Bualan demi bualan senantiasa terlontar merayakn betapa tololnya ego menguasai setiap sendi kehidupan. Nafsu tak lupa dilibatkan dalam kasus yang menyeret keangkuhan menjadi bulan-bulanan tuntutan tanpa dasar dan maksud menghancurkan. Bulir-bulir keringat bercampur dengan sedikit peluh menjadikan sebagai cambuk pelesat mesin piston bertenaga lebih dari sekedar mesin ganda.
Rupa-rupanya sang waktu sedang menunjukkan kepiawaianya dalam menempatkan apa yang sedang dibutuhkan. Menempatkan kini masa dari pengecut mana lagi yang akan terdoktrin oleh kepalsuan dan menjadi budak oposisi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Menjadi budak pembajak sawah tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang diretas. Bisa saja menjadi korban tanpa jasad. Lebih mungkin lagi terkirim hanya tinggal nama. Masih untung apabila pulang dalam peti terbujur kaku, namun sangat memilukan bila menjadi korban dari kepentingan ketamakan dari sang pencetak dolar.

       Silaunya mentari sedang berganti dengan malam yang beranjak sunyi. Bersama gemericik dentuman tetesan berkah dari langit. Dengan diiringi orchestra dari sang pencipta membuat semua siksaan ini terasa manis dalam detail goresanya. Bekasnya memang tak terlalu dalam, tapi menyakitkan dan menimbulkan bekas yang sangat panjang. Biarkan sepi bersanding dengan dahsyatnya badai menerpa karang. Menjadikanya setingkat lebih kuat dibanding dengan kotoran yang mengapung dilautan.

        Sudah mulai lupa kapan pertama rasakan lara karena semua telah menjadi santapan sehari-hari. Bahkan bagaimana rasanya sejenak menikmati sejuknya udara pagi yang menyesakkan sudah mulai jarang dan hampir tidak pernah tersaji dimeja makan. Hanya goresan luka, dan beberapa tumpukan memori puncak penuh euphoria penancapan sejarah baru. Dan memang hanya itu yang saat ini sedang menjadi bahan paling menarik untuk dijadikan renungan dalam memulai menggoreskan pena.

       Narasi sebagai bahan pengantar ke cerita inti tak perlu lagi dilampirkan. Semua terpempang nyata dari memar yang menghiasi sekujur tubuh. Belum lagi dengan pilunya dasar hati yang sampai detik ini  belum ada yang mampu menyelami hingga bertemu dan bercumbu. Mengutuk kegelapan bukanlah langkah bijaksana,tetapi menjadi lilin dan terbakar demi menerangi kehidupan bisa jadi menjadi keputusan paling realistis untuk waktu-waktu ini. Masih terngiang jelas betapa senyum keharuan dating bergandengan bersama derai air mata pada detik terakhir pemindahan tahta. Terakam amat sangat jelas dengan kualitas gambar setara dengan piringan hitam yang menjadi box office dari setiap jamannya.

       Bukan hasil dari mengiba apabila terlahir sebagai pemenang, namun menjadi pecundang bisa saja menjadi pilihan takdir yang diambil dari sudut pandang kebodohan. Mengkerdilkan kedewasaan menjadi hal yang jamak terjadi dalam memotret setiap adegan dalam rekayasa. Menjadikanya seolah terlihat nyata tanpa melalui proses filterisasi masuk nominasi pembawa piala bergengsi. Apakah emas itu sudah tidak berharga sehingga hanya dilempar untuk dijauhkan agar radiasinya bisa diminimalisir bahkan apabila ada cara untuk menguburnya hidup-hidup itu bisa menjadi pilihan halal untuk melanggengkan kekuasaan.

       Terompet dari sang empunya hidup belum diijinkan ditiup itu artinya masih ada celah untuk kembali menapaki terjal serta curamnya medan dengan hanya berbekal diri sendiri. Berjalan tanpa iringan itu sudah bukan menjadi sesuatu yang luar biasa dalam sampah daur ulang ini. Hanya ada satu yang abadi dalam dawai melodi kehidupan yaitu kepentingan. Omong kosong saat terdengar bahwa akan terlahir kawan dan lawan yang abadi dalam setiap putaran rodanya. Lahir dan tumbuh besar dalam pengasingan menjadi modal berharga dalam mengarungi kejamnya gelombang masa depan. Pilihan hanya ada dua yaitu berhenti dan mati atau tetap berlari meskipun terseok menuju puncak keberhasilan. Dan inilah yang menjadikan sang waktu begitu agung, karena dia adalah satu-satunya yang dicetak sang pemberi hidup yang tidak berpasangan.

       Bukan sebuah jalan untuk mengungkit setiap kegemilangan yang pernah tertahklukkan, karena itu akan menjadi keputusan yang sangat pintar untuk eksistensi diri. Pintar dalam menunjukkan kebodohah maksud dari statement tanpa sinyalement untuk menjatuhkan babi yang sedang berkuasa.

      Tak perlu melotot dan berteriak untuk menunjuukan kekesalan. Dari raut muka dan penyimpulan saat diskusi setelah dicaci maki saja sudah bisa disimpulkan bahwa kewaspadaan adalah harga mati saat berjumpa.

         Entah dosa apa yang dulu terlanjur dilakukan sehingga memuluskan setiap tonjolan-tonjolan luka dan menjadikan rasa kewaspadaan harus dipasang sebagai kuda-kuda. Bunda yang salah mengandung atau bapak yang keliru menaruh burung itu saja belum cukup untuk mengorek apa yang sebenarnya menjadi alibi dari pengasingan yang terjadi.

       Semua ada masanya, dan mungkin sekarang menjadi masa dimana babi bermainset dolar sedang  nyaman duduk disingga sana.

Rabu, 25 Desember 2013

DATANG UNTUK PELUKAN HANGAT ATAU PERGI DENGAN MENIKAM



          Kesialan terindah, kebodohan ternikmat serta dosa paling memikat, sedikit definisi terhadap semua buaian semu dalam hempasan semilir angin senja. Katup kehidupan kembali menunjukkan kepiawaianya menari dan menterjemahkan segala keagungan dari sang pembuat hidup. Setiap episodenya membawa goresan manis mencabik dengan indahnya. Djavu memang, namun semua terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Hamparan scenario manis yang telah selesai dimainkan tidak seyogyanya untuk dikubur begitu saja.
          Semu dan mungkin hanya sekedar hanyalan untuk dapat beriringan dalam sebuah komitment janji untuk saling percaya, menjaga dan melengkapi. Sadar atau tidak itu semua mencabik direlung sanubari. Sejak awal memang semua sudah terurai tidak pada tempatnya. Dimulai dari sebuah miss persepsi dari segelintir orang dan akhirnya menjadi konsumsi khalayak ramai merubah mainset. Penyangkalan yang dulu santer diteriakkan kini hanya tinggal isapan jempol belaka dikala akhirnya tersadar bahwa karma itu telah hadir, dengan berat pengakuan dari kedua belah pihak sudah terlanjur terlantunkan. Ditemani udara segar dan deburan ombak membuat hari libur mendung saat itu berubah dengan senyum sumringah penuh kepuasan.
          Hari laknat itu memang tak seharusnya terjadi, mengingat sang bidadari telah menemukan tambatan hati yang setia mendampingi meskipun tidak selalu ada disisi. Sempat terbersit apa semua hanya carauntuk mengisi kekosongan dan akhirnya hanya makan hati saat semua telah kembali. Benar atau salah itu hanya tuhan dan rasionalitasnya yang berbicara. Menyadari bahwa semua berat dan bisa dibilang tidak mungkin untuk melangkah lebih jauh akhirnya dengan lantang tapi berat langkah kaki harus segera berpindah haluan. Berbalik dengan senyum pedih hanya akan semakin mengoyak perasaan, bertahan dengan kegigihan juga dirasa percuma, mengingat siapa dan diposisi mana.
          Tak jarang terdengar siulan burung berkicau meyakinkan bahwa ini adalah takdir dan garis dari sang pemberi hidup. Semua setinganya terasa pas dan tidak bisa disangkal lagi itulah yang disebut takdir. Dengan segala kebodohan rasional yang dimiliki maka bantahan, teriakan dan pemberontakan serta gejolak jiwa mencoba untuk merubahnya. Tertikam dalam senyum pucat pasi, dan mungkin tersungkur dan kembali kelembah jahanam dalam takdir kehidupan.
          Ambiguitas jawabanpun terkadang menggoda bahwa itu adalah pancingan serta tarikan meyakinkan bahwa ada alasan kuat untuk tetap bertahan. Terlihat ada setitik ketulusan dan keyakinan dari pihak seberang menggambarkan bahwa tarik ulur memang sedang terjadi. Sekuat tenaga meronta untuk merealisasiakn sebuah kalimat yang berbunyi “move on” itu adalah target yang saat ini sedang menjadi fokus pemusatan latian. Sebuah pernyataan bahwa semua memang tidak ada ikatan dan bebas untuk berkeliaran kesetiap sudut kehidupan menjadi sebuah tanda merah agar jangan terlalu berharap.
          Mungkin keledai sedang terperosok kedalam jurang pilu, meratapi dan menyesali kenapa harus takdir seperih ini yang terlewati. Menjadi bagian dari sebuah histori pencapaian. Semua hanya akan semakin mengiris perih dikala mengingat flashback kesetiap rentetan kejadian. Jengkal demi cengkal dan bulir-bulit itu tersusun rapi menjadi puing penopang sebuah bangunan indah dengan cat berwarna merah darah sebagai pertanda keindahan dengan kepiluan.
          Silahkan tersenyum sinis atau menangis ketika menyimak rangakain kata bodoh ini. Teratawa sadispun sah-sah saja karena menang sang sejarah sedang menunjukkan kebodohanya dan kelemahanya tahkluk dengan sang hawa. Hawa bukan menjadi milik sang adam, tapi kepunyaan arjuna.
          Adam memang terkadang kejam dan bisa saja memberikan tekanan pada hawa seperti saat pada akhirnya hawa mengakui semuanya. Namun dalam penggalan cerita ini adam memberikan pressure terhadap hawa untuk membuat keputusan paling lambat satu bulan kedepan. Adam atau arjuna, meskipun semua juga sudah paham dan hasilnyapun bisa ditebak dengan rasionalitas bahwa pilian tidak akan jauh dari arjuna. Adam hanyalah sepenggal bumbu penyedap tak berguna yang kebetulan hinggap dan merusak semuanya. Turut campur dalam tatanan yang tak seharusnya. Menerobos kedalam hidup bahagia dan menjadi duri adalah ketololan fatal yang dibuat sang adam.
          Dan kalaupun dalam tiga puluh hari kedepan sang hawa tidak memberikan keputusan atau bahkan seperti yang diduga yaitu arjuna adalah pemilik mutlaknya maka adam harus menepati janjinya untuk minimal dapat menggerakan satu langakah kaki berbelok arah mencari pemandangan dan fokus baru selambat-lambatnya seratus delapanpuluh hari kedepan. Akan tetapi dalam hati kecil sebenarnya dengan jumawa banyak bukti dan banyak sumber yang menerang tegaskan bahwa rasa yang terbangun antara adam dan hawa dibuat dengan sebuah pondasi yang disebut proses. Dua periode bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal dan pada akhirnya meyakinkan keduanya bahwa mereka memiliki rasa yang sama. Dan tentunya semua tahu bahwa proses itu lebih menentukan kualitas.
          Tapi entahlah, semua keputusan ada ditanganmu. Datang untuk memelukku dengan senyuman iklas dan penuh kasih sayang atau datang untuk menikam, mencabik dan mengoyak sanubari untuk akhirnya berlalu dan pergi. Apapun keputusanmu percayalah bahwa engkau menjadi goresan menggunakan warna emas dalam kanvas kehidupanku.

Senin, 09 Desember 2013

KEMASI BARANG DAN ANGKAT KOPER LEBIH AWAL DARI KOMPETISI



Saat  mundur teratur menjadi sebuah keharusan maka saat itulah langkah kaki terhenti, berpaling dan kembali melangkah menuju fokus yang baru. Fokus baru yang munngkin akan semakin membuai dalam dekapan fatamorgana menyilaukan demi sebuah eksistensi. Detik berlalu, sekejap jam berganti dan haripun menuntun menua tanpa ada jeda menghela sedikit nafas menyambung kembali dekapan yang sudah dipastikan terlepas tanpa persetujuan karena memang semua adalah hak prerogative dari sang empunya hidup.
Terusik oleh episode masa lalu yang dengan sengaja kembali diputar untuk memberikan sebuah rambu agar tidak kembali tergelincir dalam kubangan hina penuh sesal. Sedikitpun tak pernah terpintas kenapa jurang yang sama persis kembali terbentang dan menunggu untuk ditahklukkan atau pindah dan mencari referensi baru dalam membangun mahligai kamuflase benteng bertahanan diri.
Cibiran hanya semakin menguatkan langkah,motivasi tak ubahnya sebagai cambuk penyemangat untuk segera menoleh dan menggeser langkah kaki. Haram hukumnya untuk kembali terperosok dalam jeritan hebat,tangisan dahsyat seperti kala seragam putih biru masih menjadi icon kebanggaan.
Guratan takdir dalam kilasan lembayung senja menjadi petunjuk pakem untuk terlahir kembali sebagai sosok superhero arogan yang digandrungi bocah ingusan dan membuat mereka bangun pagi bukan dengan alasan kedisiplinan namun tak sudi melewatkan setiap detik episodenya.
Kenapa ketololan semakin mendarah daging dalam jalur dengan fokus pelacur ulung ini. Butuh permata seberapa banyak untuk meruntuhkan idealisme bodoh dalam kepura-puraan tak beradap. Merangkak sepertinya menjadi satu-satunya jalan apabila memang puncak dirasa masih menggiurkan untuk ditahklukkan. Tanpa tour guid dan tanpa potter pembawa bekal. Semua serba dipikul sendiri karena memang puncak hanya sedap dinikmati tanpa sandaran bahu. Membusungkan dada adalah harga mati saat semua berubah menjadi dilema pencapaian pencerahan hidup.
Sekilas pandang penyeberangan ini terasa sangatlah sunyi meskipun semua juga paham bahwa lalu lintas tak pernah berhenti beroprasi serta kamera pengintai akan selalu tajam memperhatikan perubahan sekecil apapun untuk mengambil ancang-ancang  melesat tanpa bantuan mesin bertenaga kuda. Tenaga surya sudah lebih dari cukup untuk membuat semuannya berjalan monoton tanpa jumping streat yang mungkin akan mampu melesatkannya lebih dari cepat,tapi tidak menutup kemungkinan saat bergerak dengan keragu-raguan maka posisi stir tak pernah sesempurna saat navigator selalu menjadi pemandu dalam race demi race kejuaraan panggung sandiwara.
Hembusan sang angin membelai mesra, membuai dalam lena. Mengajari jemari untuk bersilat lidah dan membimbing untuk menutupi ketidak jujuran dengan sebuah kebohongan demi kebohongan. Tanpa eksekusi rapi dari algojo berserifikasi semua hanya menjadi oase dipadang savanna tandus setelah perang hebat dalam sanubari. Kembali logika dan kalbu bersitegang dalam mempresentasikan celah baru sebagai jalur alternative atau tetap meneruskan terjerumus dalam lumpur biadap pemuas nafsu budak gengsi. Fase awal dalam perang dingin memang bukan baru saja dimulai, shock teraphy akhirnya membangunkan setiap prajurit lengkap dengan jendralnya membangun serta memperkokoh benteng rasionalitas kerangka berfikir arogan tanpa nurani.
Disisi lainya sanubari meraung-raung untuk memperlemah benteng pencatatan sipil yang dengan pelan namun pasti tergerus oleh kepekaan melambaikan tangan bukti pengganti kain putih penahklukan salah satu pihak berseteru. Ini baru masa dimana awan hitam belum berniat beranjak, tetap menyelimuti dalam kusamnya cahaya kilat petir menyentakkan hati. Siap tersandung tanpa harus jatuh, menemukan jalan untuk tersesat dan terbang tanpa ketinggian.
Tiket untuk tertawa sudah terlanjur terjual habis sebagai hasil akhir sudut pandang pilu. Terpojok kaku hanyalah segelintir imbas dari ledakan hulu ledak pemantik tujuan hidup. Trigger dari setiap masanya merupakan isapan jempol dalam pembodohan tiada akhir.
Dimana raungan rintihan anjing-anjing bertahta yang tempo hari meratap penuh harap dengan muka pucat pasi. Sembilu namun tetap memegang belati yang kemudian digunakan mecabik-cabik sekujur perasaan dari pawangnya. Memang bukan saja anjing yang berirama meminta sedikit tengokan dari ujung pelupuk mata, burung camar ikut ambil bagian menggaduhkan suasana. Membuat kesunyian menjelma menjadi kebisingan mesin-mesin tanpa sanubari beroprasi menggiling kesempatan-kesempatan terlewat lalu kemudian memprosesnya menjadi sebuah tantangan baru berbungkus tanpa formalin namun tetap dengan  fungsi instannya merekahkan senyum dari ujung bibir dan tetap dengan kerutan dahi menandakan disebelah dada kiri sedang tertusuk pilu.
Haruskah bertekuk lutut dalam keangkuhan, atau tetap meronta dalam tatapan kosong. Berlari dan mecari garis finish baru sepertinya menjadi pilihan mutlak saat tahap training sudah berhasil dilalui. Tapi akan lain ceritanya saat dimana masa sulit tunduk pada dewa masih berlaku karena jubah penuh tanggungjawab tak mampu dan tidak mungkin untuk dipindah tangankan ditengah jalan. Sekarang saat label tersebut berhasil diwariskan justru muncul beban kediktatoran baru. Tumbuh dan bersemi harapan-harapan palsu nan semu. Berkembang subur seperti jamur di musim hujan menjadikannya sebagai benih kualitas unggul unntuk meledakkan bom waktu pada suatu moment dipenghujung tahun disaksikan ombak dan keremangan cahaya malam.
Akankah pengingat waktu menjadi saksi kunci pembongkaran kasus segitiga dalam perantauan, itu hanya sang pembuat hidup yang tahu saat ini. Namun pekan terakhir menuju awal pergantian digit terakhir jualah yang memberikan sekelumit jawaban atas tanya tanpa dasar tersebut. Dikenakan atau dibuang itu adalah hak dan pilihan. Semua tak pernah menjadi soal melihat hampir lebih dari tujuhratus hari luar biasa yang terukir. Merekam jejak dan langkah dengan sedikit serpihan madu dan tetesan racun pembunuh untuk setiap tegukanya.
Kalaupun secara halus tak mampu memberikan arahan untuk berhenti dan pergi maka langkah kedua adalah teriakan menghardik untuk berlari tanpa jejak. Apabila semua sia-sia maka pilihan satu satunya adalah kemasi barang, dan angkat koper lebih awal dalam kompetisi.
DIAM, BERHENTI DAN BERBALIKLAH LALU KEMUDIAN PERGI APABILA JULUKAN MANUSIA BERNURANI MASIH INGIN DILAMPIRKAN DALAM SETIAP SURAT KETERANGAN.!!!!!

Selasa, 22 Oktober 2013

SHUT UP BITCH.!!!!!!, TIBA DIUJUNG SENJA



Tiba diujung senja, menghela nafas dan menyambut datangnya sang malam yang gelap gulita tanpa sepercik cahaya senyum riang tanpa dosa meskipun ditengah keterlambatan. Masa bodoh dengan kicauan burung gereja diluar sana. Terasa tanpa harga ketika burung bersiul dengan merdunya diluar sangkar, lain cerita ketika berpeluh dibalik terali besi yang membuatnya satu visi.
Sistematis dan lengkap dari dua sisi. Sedikit menggambarkan tentang rapinya sebuah rencana penumbangan sebuah pohon muda yang tumbuh dengan pesatnya. Hanya anjing yang menjilat ludahnya sendiri, setidaknya itu yang terpatri dan mendoktrin setiap akar dari pohon kuat yang dianggap tanpa jasa.
Deru ombak semakin menderu, menggulung rasionalitas serta norma ditanah mataram. Pohon pribumi coba ditumbangkan oleh pencari kayu karbitan tanpa paham penggalan makna yang telah ditorehkan. Menilik ke belakang ternyata dibalik senyum sinis sang pencari kayu berdiri seorang penebang hutan ulung yang sampai beberapa kali harus berpindah domisili karena ulah behavioristik tanpa humanis.
Memandang tajam penuh makna pecundang-pecundang, penjilat dan penghianat disudut kumuh bersanding semak. Membiarkan setiap tawa merekah dalam manisnya bibir berbarengan dengan lidah tak bertulang yang siap menari menunjukkan kelihaian membalik realita.
Berbalik arah, menyerang dan berusaha menumbangkan setelah sekian detik berlalu bersanding dengan genggaman kebersamaan berbalut gelak tawa dan linangan air mata. Semua sirna tanpa membekas ketika entah goresan mana yang melubangi dan membuat bakteri busuk bernama pengkhianatan pengingkaran janji tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Tak ayal semua sempat menjadi pertaruhan akankan tumbang dan melemparkan handuk putih sebagai tanda menyerah pada serangan sistematis tersebut, namun semuanya ditampik dengan lantang bahwa rentang waktu yang ada memang harus diselesaikan sesuai dengan kesepakatan wakil dari penghuninya.
Anfal dan hampir sampai pada tepian jurang kematian saat mendapati system control yang selama ini dibanggakan tiba-tiba berbalik menyerang. Hanya loyalis sejati yang bekerja dengan hati, bukan karena tekanan atau ketakutan pada ancaman pembuangan dan mendapat gelar parasit penghambat pertumbuhan hutan tempat bernaungnya sang pohon.
Tak akan pernah puas saat menhujat dan mencaci, serta mengutuk kuman diseberang lautan. Padahal tanpa sadar ada seekor gajah dewasa sedang menari-nari dipelupuk mata. SHUT UP YOUR MOUTH BITCH.!!!!!!
Semua memori dan histori ketika dipelajari dapat menjadi sebuah pembelajaran hebat. Terlebih para tokoh-tokoh hebat pelaku sejarah masih membuka diri kepada generasi setelahnya bila ingin mendengar sekelumit dongeng pengantar tidur perajut mimpi yang memperkokoh hentakan langkah serta kibasan sayap. Dan memang hanya loyalis dan para actor kawakan yang senantiasa mendorong serta memperkuat agar pohon muda itu jangan pernah tumbang. Dukungan moral maupun sumbangsih pemikiran demi menghalau sang penebang hutan sialan yang berdiri menantang dibalik pencari kayu ingusan minim jam terbang dikuasai ketamakan serta egosentris dalam penentuan benar dan salah.
Sudah lebih dari cukup peran actor dan loyalis dalam pemberian bekal semangat serta penguatan harga diri yang sempat merasa diruntuhkan ketika kutu ingusan yang dulunya dirangkul dan dibimbing sedikit meninggalkan butiran-butiran pil bangsat serta tegukan-tegukan dari setiap cangkir pelemah kognisi pembangkit kebodohan kini berbalik memegang gergaji kayu untuk meruntuhkan terali besi yang menjadi tempat bernaungnya.
Namun loyalis serta actor kawakan yang selanjutnya disebut aktivis greenpeace telah meyakinkan bahwa semua memang bisa ditumbangkan, namun semua juga amat sangat bisa dipelihara  dan batal untuk dijadikan gelondongan tanpa makna. Semua memberikan keyakinan dan harapan bahwa tanpa penjilat serta penghianat bodoh itu akar akan tetap tertancap ditempatnya.